Surat Buat Eyang/Pak Harto Sebelum Game Over

Kepada yth
Eyang (Mantan Presiden Soeharto

Sudah 8 tahun sejak Reformasi ini apa yang saya saksikan dalam perjalanan sejarah bangsa ini malah jalan ditempat. Dahulunya ketika Eyang masih menjabat Presiden Negara ini tetap aman, kondusif, tanpa ada gangguan yang berarti. Sampai badai krisis moneter yang memporak-porandakan semua sendi-sendi kehidupan bernegara.

Saya tidak meminta Eyang kembali naik tahta dipemilu 2009 ini. Malah saya sebagai rakyat memohon bantuan kepada Eyang mengatasi permasalahan bangsa ini sebagai bentuk tanggung jawab moral Eyang atas apa yang Eyang lakukan selama masa kepemimpinan Eyang. Mungkin sebagaian rakyat ini masih mencintai Eyang yang kata mereka telah berbuat jasa besar mengangkat harkat dan martabat bangsa ini. Cinta yang mereka berikan menurut saya adalah cinta kepada orang tua yang kasihan kepada Eyang akibat Eyang sering sakit-sakitan dan lanjut usia. Dahulu kami/mahasiswa sebagai pelopor pergerakan masih arogan meminta peradilan buat Eyang sebagai bentuk keadilan bagi kita semua. Namun kami salah, Eyang telah menanamkan pengaruh yang telah mengakar kesemua orang-orang yang seharusnya berkewajiban menjalankan HUKUM dinegara ini. Kami memang sangat tolol saat itu, bagaimana mungkin menghukum Eyang setelah 32 Tahun menanamkan pengaruh yang mengakar tersebut, justru para elit kepemimpinan akan melindungi Eyang sebagai bentuk balas jasa mereka atas bimbingan yang Eyang berikan. Memang arus reformasi saat itu hanya dapat melengserkan Eyang sebagai pohon tanpa membongkar semua akar-akarnya. Jadilah Eyang aman-aman saja malah mendapatkan pengampunan dari Negara. Saya mengatakan Eyang bertanggung jawab karena melihat kondisi bangsa ini. Lihat Eyang, kita kalah bersaing dengan Negara-negara tetangga kita seperti Malaysia yang dulunya masih mengemis kepada kita. Kita tidak punya posisi tawar lagi. Dulu rakyat relatif tidak begitu merasakan pahitnya perekonomian, serba masih murah namun mereka tidak sadar semua itu adalah utang yang Eyang lakukan kenegara-negara luar dan harus kita bayar. Jadilah kita membayar sekarang. Saya sedikit bingung, Negara yang sumber daya alamnya melimpah ruah ini harus berutang kemana-mana. Tapi memang ada banyak orang yang rakus, rakus dan rakus. Tega, tega dan tega. Biadab dan keji (maaf aku memang terlalu emosi eyang) Mereka ada disekitar Eyang.. jadilah korupsi merajalela, bahkan membudaya. Tidak ada rasa malu, tidak ada rasa Nasionalisme, semua demi kepentingan pribadi. Budaya inilah yang Eyang wariskan. Apakah Eyang tidak merasa berdosa (bersalah). Eyang menitipkan bangsa ini dalam kondisi yang menggenaskan. Elok diluar busuk didalam. Eyang bisa bayangkan 60 tahun lebih merdeka listrik belum tiba kalaupun ada masih dijatah. Masih banyak kondisi begini Eyang dipedalaman. Saya melihat sendiri Eyang. Anak-anak hanya untuk menamatkan SD saja tidak mampu karena kesulitan biaya, sarana dan prasarana. Mungkin Eyang sudah menitikkan air mata ketika membaca suratku ini, Eyang tidak menerima kenyataan ini dan menganggap gelar Bapak Pembangunan tidak pantas Eyang sandang bukan?. Memang ada desa/kota/tempat yang maju, ada yang meningkat taraf hidupnya, hanya saja hal yang sulit menerima adanya kemiskinan ditengah melimpah ruahnya kekayaan alam, adalah hal yang sulit bagi saya untuk menerima jika mereka miskin namun banyak pejabat yang kaya raya. Meminta lebih dan lebih. Menganggap waktu yang mereka berikan telah lebih dan harus dikompensasikan dengan tambahan gaji/sarana. Dimana keadilan, dimana nasionalisme, dimana kami mengadu. Kami tidak iri kepada anak cucu Eyang dan pejabat pemerintahan lain berlibur, belanja keluar negeri, sekolah yang terbaik, baju yang bagus dan gonta-ganti bahkan uang jajannya sehari bisa menyekolahkan beberapa anak miskin ini paling tidak satu bulan. Mereka,saya dan yang lainnya tidak iri, selama apa yang mereka dapatkan itu adalah buah kerja keras dan kejujuran. Bagaimana ada kejujuran jika seharusnya anak-anak mereka yang kurang mampu dapat bantuan disekolah malah disantap entah siapa, seharusnya mereka dapat keringanan dalam pembiayaan rumah tangga malah ditilap entah siapa. Ini masih digolongan/pemerintahan lapis terbawah. Tiada lagi rasa malu Eyang. Inilah salah satu yang Eyang wariskan. Mengakar kesemua sebagai virus fikiran.Namun Yang berlalu biarlah berlalu Eyang, yang bisa saya harapkan Eyang membantu mereka yang sudah menjadi korban kesalahan, korban ketidak adilan. Setelah Eyang lengser, saya tidak pernah mendengar Eyang lagi turun kedesa-desa memabantu mereka yang susah. Apa benar memang Eyang tidak punya uang, Eyang bisa minta dari anak cucu Eyang yang konon kaya raya, teman-teman Eyang yang aktif maupun pensiunan pejabat. Mereka pasti memberi, soalnya bagi mereka Eyang tuh sudah dianggap Dewa. Mudah-mudahan kalau dikumulatifkan semua yang mereka beri bisa menggratiskan anak-anak SD minimal setahun. Anggaplah seperti menabur amal di didunia sebelum Eyang dipanggil yang kuasa untuk meniggalkan kami selama-lamanya.Maafkan jika aku salah Eyang, hal ini kulakukan paling tidak supaya aku menerima Pengampunan Eyang yang diberikan oleh Pejabat diNegara ku ini. Tulisan ini adalah buah pikiran adikku yang dititip ke e-mailku. Aku malah tertegun, ternyata hampir semua dikeluarga kami dicekoki sang ayah pengaruh budaya yang memalukan itu (Korupsi, Nasionalisme Picik). Ayahku akan selalu bilang Mencintai Negara Lebih Berharga dibandingkan Mencintai dirimu sendiri. Kami pernah bolos sekolah ketangkap basah si ayah dan dipaksa mengangkat keranjang berisi ubi kayu ke tengah jalan raya sembari bendera Merah Putih di ikatkan ketangan. Ayahku bilang, jika kau bodoh, dan malas sekolah maka akan menjadi sampah masyarakat dan menjadi beban Negara ini. Yang lebih membekas diingatan penulis pernah dilempar kearah kepala dengan cangkir steinless (istilah kami “cangkir besi” kala itu). Untung saja tidak mengenai tubuhku dan cangkir itu penyot sedalam 1 cm karena aku tidak mau kursus Bahasa Inggris. Akhirnya aku turuti dan ternyata sangat-sangat berguna buatku. Sampai sekarang aku menyimpan cangkir itu, sebagai kenang-kenangan hidupku. Darah Militer itulah istilah kami buat sang ayah dan sekarang masih berjuang menyekolahkan 3 lagi buah hatinya. Selamat Berjuang Ayah, Semoga Semangat Nasionalismemu tetap tertanam untuk semua Generasi dibawahmu. Bangkitlah Indonesia.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagiku Soeharto tak lebih dari seorang Pecundang. Gantung dia.................
....................
......................
.............
Ambil Hartanya.. bagikan ke Rakyat Susah.

Anonim mengatakan...

Meskipun Beliau memiliki kesalahan dalam Republik ini, yang penting adalah Beliau juga pernah melakukan kebaikan terhadap Negara ini tentunya. Bisa jadi kita tidak ada satupun yang telah kita lakukan buat bangsa ini.
ya kan. qi qi qi qi