Khayalan Lamaku….

Seandainya semua seperti yang aku bayangkan maka dunia ini akan selalu baik-baik saja…. Kenyataan yang sangat menyedihkan adalah ketika aku melihat iri kepada mereka yang selalu mendapatkan apa yang merka inginkan namun ada yang iri terhadapku atas apa yang kumiliki..Begitu banyak mereka masih hidup belum selayaknya… manusia setengah manusia… mereka hanya menghayal mekipun angannya sangat sederhana. “ Andai Anakku Bisa Sekolah ”. Anganku melambung, seandainya aku dapat membantu mereka,, aku akan sangat bahagia…Hal yang terindah dalam hidupku bila aku dapat membantu mereka yang sangat membutuhkan.. khususnya pendidikan/edukasi. Memang sekolahku bukanlah tinggi, hanya tamatan dari satu Perguruan Swasta.. Orang tuaku bahkan sangat biasa ekonominya. Namun aku menyadari semakin banyak mereka yang tidak sekolah maka akan semakin banyak yang miskin.. bodoh… karena ketidak berdayaan mereka.. Jika ini berlanjut, maka akan lebih sulit… mengangkat mereka..
Pernah terpikir olehku sendainya semua saling peduli maka akan sedikit lebih mudah mengatasi permasalahan ini.. minimal menguranginya…. Hal yang paling gampang adalah mendonasikan sedikit rejeki kita buat mereka.. Namun bagaimana itu bisa terjadi.. pikiranku berkecamuk untuk menjadi guru.. namun aku hanya akan mengajari mereka tidak lebih dari 10-30 orang setahun.. aku ingin dapat membantu lebih dari itu.. aku memikirkan seharusnya mereka sudah gratis sekolah.. Andai saja setiap orang mendonasikan bantuan hanya sebesar 1000 rupiah / bulan/orang dengan asumsi penduduk disuatu daerah = 1 juta jiwa saja..Maka akan terkumpul dana 1 milyar/bulan… rasanya sangat layak membantu mereka yang benar-benar dibantu.. Adakah terusik kia untuk melakukannya.. adakah keberatan kita untuk memberikan nominal itu. Tapi apa dan bagaimana merealisasikannya.. Siapa yang mengelola, siapa yang bisa dipercaya.. Hal ini sangat mengusik hatiku ketika masih ada seseorang yang tega memotong/ menyunat bantuan yang notabenenya sangat diharapkan pada saat itu.. Apakan aku harus mendirikan yayasan pengelola.. Apakah orang akan percaya… ….
Hal itu masih menjadi khayalanku sendainya bisa terwujud, maka hal yang paling sederhana saat ini kulakukan adalah membantu siapa saja secara spontanitas kepada mereka yang membutuhkan.. Walaupun sangat jauh dari angan-angan dan impianku.
Sekarang kujajaki suatu usaha sampingan, yang modalnya kudapatkan setelah bertahun – tahun sebagai pegawai. Aku berniat mengembangkan suatu pengembangan peternakan ayam.. Keuntungan-keuntungan dari usaha ini akan kubagi dengan adik-adikku yang tidak sanggup/putus sekolah… mereka yang berada dijalanan yang harus melewati indahnya dunia ini namun belum merasakannya. Niatku udah bulat, aku harus menjadi bagian dari mereka.. Disanalah surga itu bagiku…..

Kepada semuanya bantulah aku dengan Doamu..

(Maaf Tulisan ini tanpa editan, apa yang melintas dibenakku... Itulah yang tertulis)

Selengkapnya?

Apa Yang Terpikirkan Anda Tentang Mereka


Sebagai Orang Beragama Aku Percaya akan Ada Tuhan sang Pencipta.. Percaya akan Ciptaannya yang Mahasempurna... "MANUSIA" Sebagai Mahluk yang Beradap.. tapi aku sangat Sedih Kala Melihat saudaraku sesama Manusia harus berada Pada Kondisi se-tragis ini... Apa yang Salah dengan Peradapan ini .. Mari Bantu Mereka......






Pernah Lihat Mereka yang terpinggirkan?. Mungkin Sudah Biasa.. Tapi Coba Lihat mereka ini yang Notabenenya Merupakan Sesama Manusia Ciptaan Tuhan...
Peradapannya Terpinggirkan










Selengkapnya?

Story Tentang Kasih

It's a good story
Roy Angel adalah pemuda miskin yang memiliki kakak seorang milyuner.
Pada tahun 1940, ketika bisnis minyak bumi sedang mengalami puncak, kakaknya
menjual padangrumput di Texas pada waktu yang tepat dengan harga yang sangat
tinggi. Seketika itu kakak Roy Angel menjadi kaya raya. Setelah itu kakak Roy
Angel menanam saham pada perusahaan besar dan memperoleh untung yang
besar.

Kini dia tinggal di apartemen mewah di New York dan memiliki kantor di
Wallstreet.

Seminggu sebelum Natal , kakaknya menghadiahi Roy Angel sebuah mobil
baru yang mewah dan mengkilap.

Suatu pagi seorang anak gelandangan menatap mobilnya dengan penuh kekaguman.
"Hai.. nak" sapa Roy


Anak itu melihat pada Roy dan bertanya "Apakah ini mobil Tuan?"
"Ya," jawab Roy singkat.
"Berapa harganya Tuan?"
"Sesungguhnya saya tidak tahu harganya berapa".
"Mengapa Tuan tidak tahu harganya, bukankan Tuan yang punya mobil ini?"
Gelandangan kecil itu bertanya penuh heran.


"Saya tidak tahu karena mobil ini hadiah dari kakak saya"
Mendengar jawaban itu mata anak itu melebar dan bergumam,
"Seandainya. ...seandainya. ..."


Roy mengira ia tahu persis apa yang didambakan anak kecil itu.
"Anak ini pasti berharap memiliki kakak yang sama seperti kakakku."


Ternyata Roy salah menduga, saat anak itu melanjutkan kata-katanya:
"Seandainya. .. seandainya saya dapat menjadi kakak seperti itu....."


Dengan masih terheran-heran Roy mengajak anak itu berkeliling dengan
mobilnya.
Anak itu tak henti-henti memuji keindahan mobilnya.


Sampai satu kali anak itu berkata,"Tuan bersediakah mampir ke rumah saya ?
Letaknya hanya beberapa blok dari sini".
Sekali lagi Roy mengira dia tahu apa yang ingin dilakukan anak ini.
"Pasti anak ini ingin memperlihatkan pada teman-temannya bahwa ia telah naik mobil mewah." pikir Roy.

"OK, mengapa tidak", kata Roy sambil menuju arah rumah anak itu.
Tiba di sudut jalan si anak gelandangan memohon pada Roy untuk berhenti sejenak,

"Tuan, bersediakah Tuan menunggu sebentar? Saya akan segera kembali".
Anak itu berlari menuju rumah gubuknya yang sudah reot.

Setelah menunggu hampir sepuluh menit, Roy mulai penasaran apa yang dilakukan
anak itu dan keluar dari mobilnya, menatap rumah reot itu.
Pada waktu itu ia mendengar suara kaki yang perlahan-lahan.
Beberapa saat kemudian anak gelandangan itu keluar sambil menggendong adiknya yang lumpuh.

Setelah tiba di dekat mobil anak gelandangan itu berkata pada adiknya:
"Lihat... seperti yang kakak bilang padamu. Ini mobil terbaru.
Kakak Tuan ini menghadiahkannya pada Tuan ini.
Suatu saat nanti kakak akan membelikan mobil seperti ini untukmu".

Bukan karena keinginan seorang anak gelandangan yang hendak menghadiahkan mobil mewah untuk adiknya
yang membuat Roy tak dapat menahan haru pada saat itu juga,
tetapi karena ketulusan kasih seorang kakak yang selalu ingin memberi yang terbaik bagi adiknya.
Seandainya saya dapat menjadi kakak seperti itu.


Kisah ini diambil dari sebuah kisah nyata yang ditulis dalam sebuah
buku "Stories for the family's heart" by Alice Gray.
Bagi saya kisah ini sangat menyentuh dan membuat kita mengerti untuk selalu mengasihi orang lain.
Berikanlah yang terbaik bagi orang yang anda kasihi selagi anda bisa, atau anda akan menyesal seumur hidup anda.

Selengkapnya?

How to Get Long Live


1. Pray. “Berdoalah. Bukankah kita Percaya sang Tuhan?
2. Be obedient, no matter how much the Master's plan doesn't make sense to you. “Taatlah, Meskipun sebegitu banyak Rencana-rencana yang tidak mengena dihatimu”.
3. Love your neighbor as yourself. Give to those less fortunate. “Cintailah tetanggamu, seperti menyayangi dirimu sendiri, memberilah, bagi mereka yang kurang beruntung”.
4. Be generous. “Jangan lupa Beramal”
5. Relax and let God drive. Enjoy the ride! “Sedikit santai dan berserah mungkin mengurangi tingkat stress di pikiran kita”.
6. Don't be afraid. He said He would never leave us or forsake us! “ Jangan pernah takut, sebab kita percaya bahwa Tuhan yang kita yakini tidak akan meninggalkan, bahkan melepaskan kita tentunya’.
7. Take time to rest and enjoy the company of friends. “Meluangkan waktu bersama teman-teman mungkin mengurangi kepenatan tubuh kita”.
8. Value, honor and enjoy your family, no matter how strange they seem to you. “Hargai, hormati, dan bersantailah dengan keluarga, tak peduli seberapa aneh/asing mereka terhadapmu”.
9. Help widows and orphans. “Bantuan buat para janda, yatim piatu munkin menambah rasa memiliki terhadap sesama”.
10. Don't watch too much TV. “Sebaiknya jangan terlalu banyak menonton Televisi”.
11. Whatever your lot in life, remember God is in control. “Apapun yang benar-benar anda inginkan dalam hidup, ingatlah bahwa Tuhan yang memegang kendali”.
12. Remember, you were divinely created with a purpose! Others were too, Even if they seem way different from you! “Ingatlah bahwa Anda dilahirkan Pasti dengan memiliki tujuan hidup, yang lain juga.. meskipun ada perbedaan penikiran denganmu”.
13. So ---- Have fun, and enjoy the abundant life! You will not pass this way again! “ Jadi ……. Bergembiralah, dan Nikmati hidup yang Berkelimpahan… Karna anda tidak akan melaluinya Lagi....

Dikirim ke e-mailku... Oleh Kakakku.. Bertha.. Thanks ya kak.. Jangan ”Marah ”. Nanya lagi ya. Ha... meskipun kakak ngga akan pernah marah kalau ini ku share buat yang lain.. Supaya Hidup ini terasa Indah.



Selengkapnya?

Pemberontak sejati

Lelaki kelahiran Medan 11 Juni 1952 itu pernah menggemparkan kampusnya, Departemen Seni Rupa ITB, karena nekat membakar karya dosennya, Soenaryo, patung Citra Irian. Juga menggegerkan “warga” TIM karena pernah memanjat kubah planetarium malam menjelang pagi untuk memasang spanduk “manifesto politik berkeseniannya”, dan tanpa izin penguasa TIM, melukis mural anti-Soeharto dan anti-militerisme di tembok luar Teater Arena, yang kemudian dihancurkan (entah oleh siapa) berikut bangunan teater.
Artikel ini ditulis oleh Suhunan Situmorang, seorang advokat di kantor Nugroho Partnership Jakarta, pengarang novel, dan juga penikmat karya seni. Tulisan ini kuambil dari sini
TANGANNYA BEGITU CEPAT menyendok makanan ke mulutnya. Tak terkesan lahap atau karena remasan lapar. Mungkin begitulah caranya makan, atau karena merasa sudah terlambat mengikuti hajatan sastrawan Sitor Situmorang yang berulangtahun ke-80 di sebuah ruang pameran TIM itu. Malam itu, 2 Oktober 2004, sambil makan, kami membincangkan banyak hal, terutama tema yang diusungnya dalam pameran karya-karya terbarunya di Galeri Nasional.

Ia belum berobah, tetap berselubung misteri. Sejak Juni 1994, kali pertama mengenal dalam sebuah diskusi gelap, kesanku pada lelaki separuh baya ini masih sama: dingin, angker, garang, pemarah, teguh bak batu karang, penuh misteri, walau hatinya tulus menjalani relasi sosial dan humanis. Bedanya, malam itu, kulihat wajahnya kusut-masai, rambutnya semakin memutih, dan… agak aneh: bola matanya kuning. Yang kutahu, mata seperti itu lazim terjadi pada pengidap penyakit kuning atau hepatitis. Namun, demi etika pergaulan, tak kutanyakan.

Bicaranya tetap lugas, dan lantak. Ia memintaku agar tak ikut merokok di ruangan berpendingin udara seadanya itu, seraya mengecam beberapa pengunjung yang tak mengacuhkan larangan merokok. “Itu merugikan kesehatan orang lain,” ujarnya tegas.

Selain menyinggung pameran karyanya yang meledek dan mengecam G-8 di Galeri Nasional, pertanyaan yang kusudorkan tak jauh dari alasan kepulangannya setelah berdiam di Kanada, 1999-2004. Pengakuannya, tak betah dan sebetulnya sudah lama muak mukim di negeri yang dingin itu, terutama disebabkan sikap rasis orang-orang kulit putih Kanada yang kelewatan pada imigran dari Asia dan Afrika. Saya kaget, tak menyangka separah itu—jika pengakuannya benar. Sebelumnya kubayangkan, ia hidup nyaman dan menemukan tempat yang tepat untuk membebaskan dirinya bereksperimen dengan status tamu terhormat The University of Victoria.

Ia memilih kembali ke negerinya, seperti apapun kondisinya; tanah air yang kelewat dicintainya namun sekian tahun dikejar-kejar intelijen dan tentara penguasa karena sikap kritis dan perlawanannya.

karya SEMSAR SIAHAAN; buruh (kiri) dan manubilis (kanan)Semsar Siahaan, mungkin tak begitu akrab di telinga anda, seperti halnya orang Indonesia kebanyakan—apalagi di kalangan etnis Batak. Ia terkenal dan dikenal orang-orang dan kalangan tertentu saja, termasuk orang luar negeri pemerhati senirupa. Sebagai seniman, ia dipuji, dikagumi, sekaligus dibenci karena sikap keras, kritis, radikal, dan gairah berontaknya yang seakan tiada akhir. Terbilang naiflah bila mengaku penggiat atau pengamat senirupa (terutama lukis) di Indonesia bila tak tahu Semsar Siahaan berikut ulahnya.

Lelaki kelahiran Medan 11 Juni 1952 itu pernah menggemparkan kampusnya, Departemen Seni Rupa ITB, karena nekat membakar karya dosennya, Soenaryo, patung Citra Irian. Juga menggegerkan “warga” TIM karena pernah memanjat kubah planetarium malam menjelang pagi untuk memasang spanduk “manifesto politik berkeseniannya”, dan tanpa izin penguasa TIM, melukis mural anti-Soeharto dan anti-militerisme di tembok luar Teater Arena, yang kemudian dihancurkan (entah oleh siapa) berikut bangunan teater.

Sejak kuliah di Departemen Senirupa ITB, ia sudah memperlihatkan sikap kerasnya melawan rezim yang dibangun Soeharto, sekaligus menentang militerisme tanpa pernah merasa takut. Ironisnya, ayahnya sendiri seorang militer (AD) dengan pangkat perwira tinggi.

Ia aktif berdemo menentang Perang Teluk, 1991. Ketika pemerintahan Soeharto membreidel majalah Tempo, Editor, tabloid Detik, Juni 1994, ia termasuk yang garang berdemonstrasi di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat-Thamrin. Saya sendiri, saat itu, terbilang “pengecut” karena tak berani bergabung dengan pengunjuk rasa dan cukup menyaksikan dari halaman gedung Sarinah. Sepanjang usiaku, baru dua kali memang ikut berunjukrasa. Pertama, ketika mengecam pelaku ‘Bom Bali’ kedua di Bundaran HI bersama pemuda-pemudi Hindu Jakarta atas ajakan Ismed Hasan Putro, ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM). Kedua, saat ‘Aliansi Mawar Putih’ menentang RUU Anti Pornografi atas ajakan Ayu Utami, itupun lebih banyak menikmati wajah-wajah cantik kaum perempuan peserta demonstrasi yang wara-wiri di dekat tugu Selamat Datang HI, lalu ngobrol sembari merokok dengan Presiden SBY Republik Mimpi, Butet K.

Harga yang harus “dibayar” Semsar untuk perlawanan atas pembreidelan majalah Tempo itu cukup mahal: aparat militer mematahkan salah satu kakinya, dan sejak itulah ia agak pincang bila melangkah.

Lewat karya dan suaranya, Semsar adalah oposan abadi bagi rezim Orde Baru. Bahkan, sesudah Soeharto lengser pun, ia tetap diuber orang-orang misterius—membuat ia harus melarikan diri ke Kanada berkat bantuan teman dan pengagum karyanya di luar negeri, melalui jalur Singapura.

Sebagai orang awam di dunia senirupa, saya tak punya kapasitas membicarakan karya-karyanya, yang menurut penilaianku yang cuma penikmat, jauh dari kesan indah. Tetapi siapapun, bila tak subjektif dan apriori pada Semsar, akan mengakui lukisan, sketsa, instalasi, karya lelaki penyendiri yang hampir semua karyanya bertemakan kemarahan, pemberontakan, perlawanan, ledekan, ironi dan tragedi, itu adalah karya-karya yang tak hanya kuat memberi gambaran atas tema yang dilukis atau diguratnya termasuk aksentuasi warna pilihannya, juga, yang tak kalah penting: jujur mengungkapkan negative capability, isi hati dan pikirannya.

Semsar memang bukan pelukis “biasa”. Ia juga kritikus sosial yang tak bisa mendiamkan karut-marutnya realitas sosial yang dilihat matanya dalam keseharian. Ia marah melihat totalitariannya pemerintah Orde Baru yang seenak perut menginak-injak HAM, geram menyaksikan kemiskinan penduduk yang semakin mengerikan akibat ketidakbecusan penguasa mengelola aset dan keuangan negara sementara di sisi lain praktik-praktik KKN semakin memakmurkan keluarga pejabat dan pengusaha kroninya. Berang atas perlakuan-perlakuan diskriminatif penegak hukum, penindasan terhadap buruh, dan mengecam kecenderungan masyarakat yang kian egois, materialistis, konsumtif, dan snobis. Sikap galak dan kritisnya itu membuat dirinya memainkan posisi ganda di dunia senirupa Indonesia: seniman sekaligus kritisi sosial.

Ia setuju seniman tak harus hidup merana dan berhak meraih taraf hidup yang layak melalui karya-karyanya. Namun, dikecamnya seniman-seniman yang semata-mata berkarya karena pesanan galeri atau kurator yang ia sebut toko dan makelar lukisan; yang meredam luap emosi jiwa dan kecamuk pikiran demi memenuhi selera pasar dan pesanan kurator/galeri. Disindirnya para pelukis berharga super-mahal, salah seorang di antaranya sahabatku, perempuan Yogja bernama Erica, pelukis bergaya “kekanak-kanakan” yang harga lukisannya berkisar puluhan juta hingga ratus juta.

Semsar menilai pelukis-pelukis yang diperebutkan pemilik galeri-galeri seni di wilayah Kemang itu sebagai korban budaya ketamakan dan kerakusan yang disemburkan sistem kapitalisme dengan cara mematikan nurani; yang berkarya tanpa jiwa, tanpa ruang kebebasan mengaktualkan diri.

“Apakah kapitalisme selalu salah?” tanyaku ketika itu sekaligus menyikapi tema pamerannya di Galeri Nasional yang mengkritik para pemimpin dan industriawan negara-negara G-8, “Dan, adakah sistem yang lebih baik di luar kapitalisme?”

Semsar tak langsung menjawab. Mungkin pertanyaan semacam itu terlalu sering ia terima dan sudah pula berulang-ulang memberi sikap—sehingga menimbulkan kejenuhan. Sebagai seniman, bukan akademisi ideologi atau teoritisi ilmu ekonomi, ia lebih suka bila kritik dan pandangannya dibaca lewat karya-karya lukis, sketsa dan instalasinya yang sudah tegas bercerita; tak lagi menelurkan interpretasi dan penjelasan-penjelasan verbal. Dari simbolisme potongan-potongan pizza berukuran besar yang ia tampilkan dalam salah satu karya instalasinya di pameran terakhirnya itu, tak sulit memang mengaitkannya dengan hegemoni negara-negara berekonomi kuat yang tergabung dalam G-8 terhadap negara-negara berekonomi lemah dan terbelakang.

Dalam bahasa gamblang, ia mau mengingatkan siapa saja: penjajahan negara-negara berekonomi adidaya semakin mengakar, mencengkeram, ganas, yang sepatutnya dicemaskan dan diwaspadai—tak hanya menikmati budaya-budaya konsumtif dan materialistis yang tanpa disadari telah merasuki diri, membuat kecanduan dan ketergantungan pada apapun produk mereka, dan tak begitu saja dipukau pesona globalisasi, yang menelan mentah-mentah kultur dan “nilai-nilai baru” yang disuguhkan.

Semsar memang tak pernah lelah dan bosan memperjuangkan keadilan dalam berbagai spektrum dan kasus, selain terus mengingatkan agar harga diri tak diabaikan. Sikap keras dan nonkompromistisnya itu acap dikaitkan dengan darah dan turunan “genetikanya”, manusia Batak yang hidup dan dididik dengan kultur militer. Entahlah apakah ada kaitannya, Semsar sendiri tak murni berdarah Batak, sebab perempuan yang melahirkannya berdarah India. Lagipula, ia tak seperti turunan serdadu pada umumnya yang doyan membawa-bawa pistol ayah dan bangga atas pangkat dan kuasa orangtua.

Yang membuat saya heran dan sampai kini tetap bertanya-tanya, mengapa ia memilih jalan yang sepi itu—seniman pemberontak, galak, anti kemapanan, penyendiri, menjauhkan diri dari hampir semua atribut kenikmatan jasmaniah—sementara latarbelakangnya, sebetulnya, berasal dari kelas menengah, kalau tak orang kaya. Bayangkan, masa kecil dan remajanya—karena tugas ayahnya—terlewatkan di Beograd, Yugoslavia, Perancis, San Fransisco; tempat-tempat di mana ia mulai belajar seni lukis dan sketsa. Maka ketika mulai kuliah di ITB (1977), sebetulnya ia sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang lebih dari cukup sebagai seniman.

Semsar tak tamat dari kuliah senirupanya di ITB, mungkin karena sudah terlanjur dianggap “monster” yang menakutkan almamaternya, selain ketakbutuhannya pada selembar kertas diploma. Tetapi lewat gebrakannya pada sebuah bianneale TIM-IKJ tahun 80-an, ia semakin tegas menampakkan dirinya: bukan sekadar seniman pemberontak yang ekstrim menyalurkan sikap—terutama ketika pameran seni instalasinya itu ia gali halaman belakang TIM laksana liang kubur untuk manusia raksasa yang merindingkan bulu-bulu tubuh, dan…, seusainya, membakar karya-karyanya, membuat penikmat dan pengamat senirupa terperanjat dan sulit percaya.

Baginya, hakekat sebuah karya adalah ketika akhirnya dimusnahkan dengan cara dibakar supaya jadi abu. Kelihatannya, pengaruh Hindu dan India sangat kental dalam dirinya, termasuk kesukaannya pada musik India, termasuk album-album Beatles dan beberapa personilnya yang melahirkan karya musik dengan mengadopsi unsur musik dan instrumen India.

Ketika karya-karyanya ia musnahkan, saya termasuk yang kesusahan memahami jalan pikirannya, dan karenanya hanya bisa bergurau pada seorang kawan dekat, Iskandar Siahaan, yang sempat dekat dengan Semsar (mungkin karena faktor semarga), bahwa “Siahaan memang banyak yang rittik (sinting).” Edan!

Harian Kompas sendiri pernah mengulas kenyentrikan Siahaan yang satu ini secara panjang-lebar. Diceritakan, betapa seorang ibu pemilik rumah sederhana yang disewa Semsar di wilayah Cinere, senantiasa heran dan bertanya-tanya menyangkut lelaki misterius penyewa rumahnya. Rumput liar yang tumbuh di halaman rumah dibiarkan mengilalang hingga hampir menutupi bangunan rumah, pintu dan jendela jarang dibuka, dan penghuninya amat jarang melongok matahari.

Kelangsungan rumahtangganya (ia menikah dengan perempuan non-Batak, beda keyakinan tetapi disebut-sebut Semsar sudah mengkonversi keyakinannya) yang kandas di tengah jalan dan kehidupan (atau sikap?) keberagamaannya yang “aneh” dan cenderung agnostic, seolah melengkapi kemisteriusannya. Tetapi, dengan seluruh keanehan dan “kegilaannya” yang tak terkesan dibuat-buat atau dipaksakan itu, membuat dirinya menjadi ikon atau simbol perlawanan dan pemberontakan yang dikagumi kaum muda anti-kemapanan; menggoda penggiat dan pengamat senirupa dan pemerhati isu HAM dari manca negara (terutama Eropa, Amerika, Kanada, Australia), terus menguntit aktivitas dan karyanya.

Mungkin, Semsar-lah seniman pluralistik (istilah kritisi senirupa) Indonesia yang paling banyak diulas media-media senirupa Eropa, Amerika, Kanada, Australia, Jepang. Barangkali pula, selain Pram, Sitor, Goenawan Mohamad, dialah “orang-orang aneh” milik bangsa ini yang karya dan figurnya tak habis-habis dikaji pengamat seni-budaya-sastra lokal maupun luar.

Saya tak akan memaparkan apa-apa saja karya Semsar di tulisan sederhana ini. Bila anda tertarik menelusuri lebih jauh “ke-diri-an” dan karya-karyanya, mudah dicari dengan mengklik Google atau Yahoo. Salah satunya, Semsar’s Gallery, asal foto-foto wajah dan lukisan Semsar “dipinjam” untuk tulisan ini.

Saya merasa beruntung sempat mengenal dan beberapakali berbincang dengan lelaki misterius ini—walau tak hangat, tetap berjarak, dan, sebagaimana penilaian kawan-kawan lain, takkan bisa dirangkul oleh siapapun, termasuk katanya keluarga dekatnya sendiri, apalagi menjadikannya semacam alter-ego. Ia mengaku tak punya HP dan hanya mau dihubungi lewat email.

Demikian pun, ketika beberapa bulan setelah perbincangan di hajatan Sitor itu kuterima kabar duka melalui SMS seorang kawan di Bali, “Semsar Shn mninggl dnia di Bali krn srngan jntng, jnzhnya akn dibw ke Jkt”, selain terkejut, perasaanku amat sedih—seraya membayangkan bola matanya yang menguning itu. SMS tersebut lalu kuteruskan pada Grace Siregar di Tobelo-Halmahera Utara, Agus Budyanto (pelukis cat air yang sedang naik daun), Tumpley Siahaan dan teman-teman seniman hotel Hilton, dan yang lain-lain.

Sesaat saya terdiam, lalu menggumam: “Sekali, tetapi berarti…”

Ia meninggal dunia di RSUD Tabanan, 23 Februari 2005, jam 1 Wita, tatkala melihat-lihat tukang bangunan mengerjakan studio sekaligus huniannya. Dusun Kesambi, Jatiluwih, Panebei-Tabanan, ia putuskan huniannya terakhir sekalian tempat berkarya—tanah nan bidang, yang pengakuannya pada saya, pemberian kawan dekatnya.

Jenazahnya sempat disemayamkan di Galeri Cipta TIM sebelum dikuburkan esoknya di pekuburan Menteng Pulo. Saya tak ikut mengantarnya, tetapi manakala melewati Jalan Casablanca yang membelah komplek makam yang kian dikepung bangunan apartemen itu, sesekali terbayang: seorang seniman besar negeri ini, pemberontak untuk keadilan dan kemanusiaan yang kesepian, rebah di situ.


Selengkapnya?

Cinta Dipengaruhi Waktu

friends, just to cheers up your day..... for those who are ready to get married....

Friends, just to cheers up your day.....
for those who are ready to get married....

Usia Pernikahan Mempengaruhi Kemesraan!!!

Sebelum Bobo:
10 weeks: selamat bobo sayang, mimpi indah ya, mmmuach.
10 months: tolong matiin lampunya, silau nih.
10 years : Kesana-an doong... kamu tidur dempet2an kayak mikrolet gini sih?!

Pake Toilet:
10 weeks : ngga apa2, kamu duluan deh, aku ngga buru2 koq.
10 months: masih lama ngga nih?
10 years : brug! brug! brug! (suara pintu digedor), kalo mau semedi di gunung
kawi sono!

Ngajarin Nyetir:
10 weeks : hati2 say, injek kopling dulu baru masukin perseneling ya
10 months: pelan2 dong lepas koplingnya.
10 years : pantesan sering ke bengkel, masukin persenelingnya aja kayak gini!

Balesin SMS:
10 weeks: iya sayang, bentar lagi nyampe rumah koq, aku beli martabak kesukaanmu
dulu ya
10 months: mct bgt di jln nih
10 years : ok.

Dating process:
10 weeks : I love U, I love U, I love U.
10 months : Of course I love U.
10 years : Ya iyalah!! kalau aku tdk cinta kamu, ngapain nikah sama kamu??

Back from Work:
10 weeks : Honey, aku pulang...
10 months : I'm BACK!!
10 years : Si mbok masak apa hari ini??

Hadiah (ulang tahun):
10 weeks : Sayangku, kuharap kau menyukai cincin yang kubeli
10 months : Aku membeli lukisan, nampaknya cocok dengan suasana ruang tengah
10 years : Nih duitnya, loe beli sendiri deh yang loe mau

Telepon:
10 weeks : Baby, ada yang pengen bicara ama kamu di telpon
10 months : Eh...ini buat kamu nih...
10 years : WOOIII TELPON BUNYI TUUUHHH....ANGKAT DUOOONG!!!

Masakan:
10 weeks : Wah, tak kusangka rasa makanan ini begitu lezaattt...! !!
10 months : Kita makan apa malam ini??
10 years : HAH? MAKANAN INI LAGI?

Apology:
10 weeks : Udah gak apa-apa sayang, nanti kita beli lagi ya
10 months : Hati2! Nanti jatuh tuh.
10 years : KAMU GAK NGERTI2 YA DAH BERIBU2 KALI AKU BILANGIN

Baju baru:
10 weeks : Duhai kasihku, kamu seperti bidadari dengan pakaian itu
10 months : Lho, kamu beli baju baru lagi?
10 years : BELI BAJU ITU HABIS BERAPA??

Planning for Vacations:
10 weeks : Gimana kalau kita jalan2 ke Amerika atau ketempat yg kamu mau honey?
10 months : Ke Surabaya naik bis aja ya gak usah pakai pesawat...
10 years : JALAN2? DIRUMAH AJA KENAPA SEH? NGABISIN UANG AJA!

TV:
10 weeks : Baby, apa yg pengen kita tonton malam ini ?
10 months : Sebentar ya, filmnya bagus banget nih.
10 years : JANGAN DIGANTI2 DONG CHANNELNYA AH! GAK BISA LIAT ORANG SENENG DIKIT APA ?!

Selengkapnya?