Setelah dibantai 3-0 (tepat nggak Bahasanya ya, "Bantai") Indonesia berharap keajaiban datang sore ini. Menang 4-0. Kalau saya bilang Mustahil sih, secara kekuatan kedua Negara berimbang, dan ditambah suasana yg berbeda dengan pertemuan di penyisihan. Defensif yg berlebihan layaknya Malaysia VS Vietnam dipertandingan sebelumnya.
Bagaimanapun itu, tetaplah berjuang. Dan kepada penonton menanglah dengan Fair, kalah dengan sportif.
Saya berharap Indonesia kalah dalam Eforia ini, karena moment nya tepat untuk bercermin. Seandainya kalah saat ini, maka bukan hanya kekalahan yg diperoleh, tapi pelajaran yg berharga (berbeda dengan momen kekalahan yg sebelumnya). Saat ini sudah tercampur dengan ekploitasi berita, intrik politik, dan kekuasaan. Cermin tentunya akan lebih luas.......
Kemenangan akan menutup semua intrik-intrik negatif.
Peluang itu Sangat Kecil ( Piala AFF)
By Nafry Marmata at 17.46 2 Komentar
Kerja Keras (Dari Kaskus neh)
Dan sebenarnya banyak sekali hal-hal yg kita tidak mengerti tentang Tionghoa, dan hal-hal ini sebenarnya harus kita ketahui dan kita pikirkan lagi, karena hal-hal ini adalah sesuatu yg bisa kita pakai untuk kepentingan bangsa sendiri dan utk memajukan bangsa sendiri. Bukan saya bilang bahwa kita harus berubah jadi Tionghoa, cuma kalau memang bagus mengapa tidak ? Dan memang ada juga hal-hal buruknya, tetapi semua bangsa juga punya.
Marilah saya mulai pendapat saya tentang perbandingan antara WNI asli
dan keturunan Tionghoa :
1. Perbedaan2 nyata Setelah bekerja tiga tahun lebih dan punya teman dekat orang bule dan orang Tionghoa dari Shanghai di tempat kerja saya, saya melihat banyak sekali perbedaan-bedaan, diantaranya :
A. DUIT
a) Si bule, kalo gajian langsung ke bar, minum-minum sampe mabuk, beli baju baru, beli hadiah macam-macam untuk istrinya. Dan sisanya 10% di simpan di bank. Langsung makan-makan di restoran mahal, apalagi baru gajian.
b) Si Tionghoa, kalau gajian langsung disimpan di bank, kadang-kadang di invest lagi di bank, beli Saham, atau dibungain. Bajunya itu2 saja sampe butut. Saya pernah tanya sama dia, duitnya yg disimpen ke bank bisa sampe 75%-80% dari gaji.
c) Saya sendiri. kalo gajian biasanya boleh deh makan-makan sedikit, apalagi baru gajian, beli baju kalo ada yg on-sale (lagi di discount), beli barang-barang kebutuhan istri, sisanya kira2 tinggal 15-20% terus disimpen di bank.
*** Kebanyakan di Amerika, orang Tionghoa yang kerja kantoran (sebenarnya Korea dan Jepang juga) muda-muda sudah bisa naik mobil bagus dan bisa mulai beli rumah mewah. walaupun orang tuanya bukan konglomerat dan bukan mafia di Chinatown. Malah mereka beli barang senangnya cash, bukan kredit. Soalnya mereka simpan duitnya benar-benar tidak bisa dikalahkan oleh bangsa lain. kalau bule atau orang hitam musti ngutang sampe tau baru bisa lunas beli rumah.
KERJAAN
a) si bule, abis kerja (biasanya jam kerja jam 8 pagi – 6 sore) hari Senen sampai hari Jumat (Sabtu dan minggu tidak kerja)) ke bar ato makan-makan ngabisin gaji. Kalau disuruh lembur tiba-tiba, biasanya kesel-kesel sendiri di kantor. Biasanya kalo hari Senen, si bule tampangnya kusut, soalnya masih lama sampe hari Sabtu, pikirannya weekend melulu. Kalo hari Kamis, si bule males kerja, pikirannya hari Jumat melulu. Terus jalan-jalan gosip kiri kanan.
b) si Tionghoa, abis kerja langsung pulang ke rumah, masak sendiri, nggak pernah makan diluar (saya sering ngajak dia makan, cuma tidak pernah mau, mahal katanya, musti simpan duit, kecuali kalo ada hari-hari khusus). Kalau disuruh lembur tidak pernah menolak, malah sering menawarkan diri untuk kerja lembur. Kalau disuruh kerja hari sabtu atau hari minggu juga pasti mau. Kadang-kadang dia malah kerja part-time (bukan sebagai pegawai penuh) di perusahaan lain untuk menambah uangnya.
c) saya sendiri, kalau disuruh lembur, agak malas juga kadang-kadang karena sudah punya rencana keluar pergi makan sama teman-teman kantor. Kadang-kadang ingin sekali pulang ke rumah karena di kantor melulu, cuma mau nggak mau mesti kerja (jadi kesannya terpaksa, nggak seperti si Tionghoa yg rela). Weekend paling malas kalau musti kerja.
*** Bos-bos juga biasanya suka sama orang Tionghoa kalau soal kerjaan. Mereka soalnya pekerja yg giat dan tidak pernah bilang “NO” sama boss. Dapat kerja juga gampang kalau mukanya Tionghoa, karena dipandang sebagai ”Good Worker “. Atau pekerja giat. Jarang sekali, kecuali penting sekali dia tidak bersedia kerja lembur. Dan kalaupun tidak bersedia lembur, biasanya dia akan datang sabtu atau minggu, atau kerja lembur besoknya.
RUMAH
a) Apartment si bule, wah bagus sekali. gayanya kontemporari. Penuh dengan barang-barang perabotan dan furniture mahal. Pokoknya gajinya pasti abis ngurusin apartment dia.
b) Apartment si Tionghoa, wah… kacau. Cuma ranjang satu, dilantai saja. Meja butut, dan dua kursi butut. TV nya kecil sekali, TV kabel saja tidak punya. Pokoknya sederhana sekali. Waktu saya tanya, dia bilang ”bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” daerahnya pun bukan didaerah mahal, tempatnya di daerah kumuh dan kurang ada yg mau tinggal.
c) Apartment saya sendiri, yah lumayan, cuma istri saya suka juga merias rumah. Jadi apartment saya lumayan lah tidak seperti punya si Tionghoa. Saya benar-benar salut dia bisa hidup begitu. Padahal duitnya di bank banyak. Gaji dia saja lebih tinggi dari saya karena lebih lama di perusahaan tersebut.
*** Setelah 10 taun, biasanya si bule, orang item, masih tinggal di apartment atau baru ngutang beli rumah, si Tionghoa sudah bisa beli rumah sendiri. Karena nabung dengan giatnya, dan cuma beli yg penting-penting saja. Jadi uangnya ditabungkan sendiri.
*** Disini saja saya bisa lihat perbedaan-bedaan nyata, saya pertama-tama pikir, wah si Tionghoa ini pelit amat. Masa duit banyak kayak begitu disimpan saja di bank. Dan kalau kita banding-bandingkan dengan sejarah orang-orang Tionghoa, kita akan tahu kenapa mereka (Tionghoa) itu dalam long-range nya (jangka panjang nya) lebih maju dari pribumi di Indonesia, karena saya sempat bertukar pikiran dengan beberapa teman lagi orang Tionghoa lainnya, orang India, orang Arab, orang Jerma n, orang Amerika, dan orang Tionghoa ini sendiri. Kita musti tau sejarahnya orang Tionghoa ini.
2. Perbandingan antara sejarah kebudayaan Tionghoa dan Indonesia JAMAN DULU Bangsa Tionghoa adalah bangsa yg bangga dengan bangsanya, karena kebudayaan Tionghoa adalah salah satu kebudayaan yg tertua di dunia, hampir setahaf dengan Mesopotamia dan Mesir. Karena itu kebudayaan Tionghoa itu benar-benar menempel di sanubari nya. Susah sekali untuk melepaskan kebudayaan tersebut karena memang betul kebudayaan mereka itu hebat, terus terang, kalau kita bandingankan dengan kebudayaan kita (pribumi Indonesia) kita tidak bisa mengalahkan kebudayaan orang Tionghoa. Dan memang kebudayaan mereka sudah diakui dunia.
Menurut salah satu Journal of Archeology terkemuka di dunia, orang Melayu itu unsurnya lebih banyak mengarah ke bangsa Mongol atau Tionghoa. Jadi bangsa Indonesia itu sebenarnya Tionghoa, walaupun s ecara biologis dan evolusis, ada unsur-unsur dari India dan Arab di darah orang pribumi. Tetapi orang Indonesia (Melayu) itu sebenarnya genetik nya lebih dekat ke orang Tionghoa.
Orang Tionghoa itu sudah dari dulu 4000 tahun hidupnya diawang kesusahan terus (maksudnya rakyat kecilnya). Negara Tionghoa dari jaman dulu, katanya, sudah perang terus, rakyat kecil disiksa olah pemerintahnya sendiri, dan pemerintahnya berganti-ganti terus. Orang Tionghoa bisa dibilang salah satu bangsa yang tahan banting. Sudah biasa menderita, dan makin menderita, biasanya orang kan makin nekad dan makin berani, jadi semua jalan ditempuh, namanya saja mau hidup, bagaimana. Ini juga terjadi di Indonesia.
Karena negaranya sendiri, Tionghoa, banyak masalah, mereka imigrasi kemana-mana. Mereka ada dimana-mana, teman saya orang item dari Nigeria dan Ethiopia (afrika) bilang disana pun ada banyak orang Tionghoa. Dan herannya. Tionghoa-Tionghoa di Afrika pun sukses dan bisa dibilang tidak miskin.
DI INDONESIA Di Indonesia sendiri, waktu saya masih tinggal diJakarta, saya bisa melihat perbedaan-perbedaannya, cuma waktu itu pikiran saya belum terbuka. Saya pernah buka punya teman orang Tionghoa di Senen buka toko kain. Di sebelahnya persis ada pak Haji yg juga buka toko kain. Setelah dua tahun, bisnis si Tionghoa makin maju, dan si pak Haji sebelah akhirnya bangkrut. Ternyata bukan karena si Tionghoa main curang atau guna-guna si pak haji. Ternyata itu karena si Tionghoa, walaupun sudah untung, uangnya di simpan dan ditabung saja, untuk mengembangkan bisnisnya lagi. Dan dia dan istrinya makan telor ceplok saja Sedangkan si pak haji baru untung sedikit sudah makan besar di restoran karena gengsi sama keluarga nya.
Nah bukannya si pak haji ini salah ? Bukannya kita bisa lihat sendiri bahwa c ina ini pikirannya lebih maju lebih melihat kedepan dan lebih tahan banting ? Saya kira ini adalah suatu hal yang bisa kita contoh dari si Tionghoa ini. Mungkin kita tidak usah terlalu pelit seperti dia, tapi juga tidak usah gengsi-gengsian.
Saya sudah bertemu dengan banyak orang dari negara yg berbeda-beda dan satu hal yg benar-benar nyata adalah orang yg TIDAK MEMBUAT KEPUTUSAN BERDASARKAN GENGSI biasanya NEGARANYA MAJU.
Coba saja lihat orang Hong Kong, orang Jepang, orang Inggris, orang Amerika, orang Jerman dan orang Singapore, mereka sudah MAJU sekali pemikirannya. Tidak seperti orang Indonesia. Kalau YA yah sudah bilang YA, kalau TIDAK yah bilang TIDAK. Jadi tidak tidak ada yg tidak enak hati. Kalau sudah lama tidak enak hati akhirnya berantem.
Orang Indonesia sayangnya gengsinya tinggi sekali, tidak mau mengaku kalau memang salah atau harus merubah sesuatu yg jelek.
Inilah kelemahannya.
Di mata Internasional bangsa Indonesia sudah terkenal sebagai NAZI Jerman versi Asia Tenggara. Waktu perang dunia ke II bangsa Jerman sedang miskin karena mereka kalah perang dunia ke I, supaya rakyat tidak marah, si Hitler yg cerdik sengaja menyalahkan orang Yahudi yg memang kaya dan menguasai ekonomi Jerman. Dan orang Yahudi akibatnya dibantai dan tidak diperlakukan sebagai warga negara sendiri. Padahal mereka juga sudah lama tinggal di Jerman dan sudah merasa sebagai bangsa sendiri, walaupun mereka masih memegang kebudayaan mereka yg tinggi, sama seperti Tionghoa di Indonesia.
Di Indonesia anehnya, pribumi benci dengan Tionghoa tetapi bukan dengan orang Belanda atau orang Jepang. Kalau dipikir-pikir, Tionghoa itu tidak salah apa-apa. Saya sebagai pribumi baru sadar akan hal itu.
Belanda menyiksa bangsa Indonesia dan menguras harta bumi kekayaan Indonesia selama 350 tahun dan setelah pergi meninggalkan penyakit yg paling bahaya dan mendarah daging, yaitu korupsi, yg sampai sekarang juga menimbulkan krisis ekonomi setelah 53 tahun merdeka rupanya penyakit ini bukannya makin terobati, tetapi makan menusuk dan menular ke seluruh badan dan mental bangsa Indonesia.
Bangsa Jepang, cuma menguasai 3.5 tahun, tapi menyiksa bangsa Indonesia lebih kejam dari bangsa lain. Karena kalah perang, bangsa jepang, yah mau tidak mau sekarang musti menguasai dunia secara ekonomi tidak bisa lagi main angkat senjata.
Anehnya kita sebagai pribumi malah benci dengan Tionghoa bukannya dengan Belanda atau jepang. Lucu sih. Semua bangsa lain (Korea, Tionghoa, Burma, Vietnam, dan Afrika) benci dengan bekas penjajahnya bukan penduduk sesama yg telah hidup bertahun-tahun bersama-sama yaitu Tionghoa kalau di Indonesia.
Sala h apa si Tionghoa-Tionghoa ini, tidak salah apa-apa. Kenapa mereka kelihatannya buas dalam bisnis, tamak, dan rakus ? kenapa ? Karena mereka selama tinggal di Indonesia selalu diperlakukan sebagai orang luar dan di anak-tirikan. Coba bayangkan kalau anda-anda jadi Tionghoa, pasti anda-anda juga mau melindungi diri sendiri, siapa yg mau nggak makan besok ? atau mati ? Yah, kalau begitu, mereka jadi cerdik, agak licik, mengambil kesempatan dalam kesempitan, jadinya berhasil memegang ekonomi indonesia. Tapi mereka juga bekerja keras, JAUH…..SANGAT JAUH LEBIH KERAS DARI KITA YG PRIBUMI. Bukan cuma di Indonesia saja. orang Tionghoa sepertinya ditaruh dimana saja pasti sukses dan bekerja keras.
Mereka (Tionghoa) tidak menyerah pada nasib, dan selalu INGIN MENJADI DUA KALI LIPATKAN TARAF HIDUPNYA, kita yg pribumi, biasanya puas dengan keberhasilan kita dan malas malasan karena merasa sudah diatas angin. Bagi ci na2 ini tidak berlaku, mau setinggi apa juga, pasti bisa lebih tinggi lagi.
Kita saja yg bodoh, mau dengar omongan pemerintah yg brengsek dan mengkambing hitamkan Tionghoa. Karena mereka sendiri juga busuk tetapi takut ketahuan. Jadi mereka menggunakan Tionghoa sebagai tameng dan kambing hitamnya.
Gimana mau hidup sebagai negara yg maju coba ? Kalau tidak bersatu. Negara yg maju harus bisa hidup dengan tentram satu sama lain tidak perduli dengan warna kulit, agama, dan keturunan. Semuanya musti diakui sebagai satu bangsa.
Contohnya Amerika, mau cari orang dari mana saja ada. Cuma mereka bersatu, dan mereka sadar tiap orang punya kejelekan masing-masing. Cuma tidak digembar-gemborkan, tapi dibicarakan dan dirubah. Yg bagus nya diambil, dan dipakai bersama-sama untuk memajukan negara. Tidak segan-segan, atau gengsi, kalau gengsi-gengsi maka tidak akan maju. Harus op en (terbuka) dan mau menerima kesalahan dan musti mau berubah.
BRgds,
Sumber http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3562158
By Nafry Marmata at 02.11 6 Komentar
Forum TIMTI kita menjadi lebih Politis dibandingkan Teknis
Sayang perubahan terhadap Ilmu pengetahuan itu tersadarnya sekarang, betapa Bangsa ini tidak memiliki sesuatu yang dapat menghidupi Bangsa ini kecuali Import Material dan Ide dari Luar, sementara para Kader-kader teknik bangsa yang bersentra kepada mahasiswa masih sibuk membahas ngalor ngidul, menjadi jawara-jawara orasi, pendekar-pendekar forum yang bukan substansif kearah ke-TEKNIK-an. Akhirnya Forum yang dibiayai oleh teman lainnya hanya menjadi ajang temu tanpa ada karya ilmiah yang berarti. (Kondisi yang sama dilakukan pejabat-pejabat bangsa ini toh).
Mungkin ini terlalu subjektif, atau mengarah pada negatif mental attitude, terserah orang menilainya, tapi ada pesan yang ingin saya sampaikan bahwa anak teknik itu harus berubah, anak teknik harus menjadi ujung tombak sentra inovatif yang teknolog, menjadikan forum TIMTI sebagai sarana ajang ilmiah yang kreatif. Tentu kita yang diforum ini harus berlatar belakang dengan tingkat edukasi keteknikan yang diatas rata-rata, setidaknya kita bisa menularkan hawa motivasi keteknikan itu keteman-teman setelah lepas dari perhelatan TIMTI ini. Paling minim memiliki dedekasi leadership untuk meneruskan semangat TIMTI yang sudah lari dari tujuannya kepada junior-juniornya masing-masing diwilayah dan kampusnya untuk TIMTI yang lebih baik kedepannya.
Kondisi ini sebenarnya bukan salah kita, tapi kejadian yang turun temurun namun kita telat untuk menyadarinya. Sebaiknya kita berbenah, memikirkan ulang bagaimana sebuah forum sebesar ini melahirkan gagasan-gagasan kreatif, innovatif, teknologis. Hal ini berpulang kepada kita sebagai pelakunya tentunya, sebagaimana harapan kita terhadap para pemimpin-pemimpin bangsa ini untuk lebih total dalam bekerja demi kemaslahatan bangsa ini. Kita menuntut mereka, tentunya kita menunjukkan perubahan di level kita.
Harapan kita untuk tahun-tahun kedepannya, TIMTI bisa melahirkan suatu konsep matang akan majunya Ilmu pengetahuan ke-teknikan, dengan beradu konsep ilmiah di forum yang ilmiah seperti ini. Mengikat erat persatuan sesama teknik yang dapat dijembatani dengan membuat Web teknik Indonesia, dan memperhatikan masalah sosial bangsa kita, yang masih terjerembab dengan data 30 juta orang rakyat miskin, dan memajukan (promote each other) Pariwisata antar sesama anak teknik yang berbeda wilayahnya.
Akhir kata saya menyampaikan Standart-Standart bagi seorang yang bangga sebagai anak Teknik.
1. Menguasai Akademis keteknikannya dengan baik.
2. Memiliki kesadaran akan lingkungan masyarakatnya diatas rata-rata.
3. Menguasai Bahasa Inggris dan fasilitas Komputer aplikasi diatas rata-rata.
4. Memiliki wawasan diatas rata-rata.
5. Memiliki kesadaran bahwa KORUPSI itu sangat berbahaya.
Alumni Sipil 2003 Univ. HKBP Nommensen Medan
Alumni TIMTI UNSRAT 2001 Menado
Work : SMEC Intl
Project : Reservoir in Lhokseumawe NAD
Selengkapnya?
By Nafry Marmata at 19.19 0 Komentar
Selamat Menunaikan Ibada Puasa ya
Selamat Berpuasa aja buat kawan-kawan Muslim dimana aja... Kalau ngga puasa, jangan lupa sembunyi makannya.. he he he.. Canda...
Selengkapnya?By Nafry Marmata at 02.11 0 Komentar
Dah Satu Tahun, ngga kerasa
Uo o. . . Posisi lagi di Lhokseumawe neh.. Beuh....
By Nafry Marmata at 23.38 0 Komentar
Bu Mega On the Campaign Day.
Semalaman menonton Capres-Capres unjuk kebolehan dalam Ber-retorika. Kampanye Damai yang dihajati oleh KPU berakhir dengan kondisi yang agak lain. Ada aksi Monolog dari Mr. Butet yang penuh Sindiran terbuka buat yang tersindir. Idenya keren dan saya rasa sah-sah saja. Dan memang sangat diharapkan para capres-capres siap sedia menerima kritik.
Saya terfokus melihat Ibu Megawati mantan Presiden setelah Mr. Gusdur Lengser. Kelihatanya Ibu yang satu ini sudah mulai piawai, lebih terbuka dan sense of humor yang sudah lebih mencair. Ternyata waktu menempa Ibu ini semenjak ditelikung mantan Mentri yang notabenenya dibesarkan Ibu ini dan berakhir dengan sedikit saling sikut hingga sekarang.
Sedari awal pencalonan Ibu Mega ini menurut saya sudah agak kurang tepat, alasan saya selain sudah pernah jadi Wapres & Presiden dan juga pernah kalah waktu incumbent dengan incumbent yang sekarang.Mengapa tidak memunculkan tokoh-tokoh kader muda? Namun sperti alasan ibu ini bahwa Nuraninya masih tidak mau untuk berhenti setelah ditugaskan Partai untuk maju bertarung di Pilpres sekarang. Saya sedikit heran, mengapa ibu yang sudah tua ini (relatif) tidak jadi Negarawan saja, menjadi motor penggerak PDI-P bersama bangsa. Dalam benak saya mungkin para petinggi PDI-P (kelak menjadi tim sukses) memiliki konsep yang menjual untuk merebut hati wong Cilik. Namun sampai sekarang para tim sukses Mega-Pro tidak melakukan manuver yang lebih layak untuk mendapatkan hati para Swing voter dan Golput yang nota benenya diatas 30% (Sumber Metro TV) ditambah suara PDI-P mania dan gelontoran pesona Prabowo sebagai orang Muda Indonesia?
Saran saya konsep yang ditawarkan oleh ibu Mega adalah..
- Ibu Mega Pernah Jadi Presiden dan akan tetap utuh menjaga kedaulatan NKRI dan sudah terbukti.
- Ibu Mega bukanlah orang pintar dan menjadi seorang Presiden relatif tidak harus pintar apalagi beretorika, tapi harus bijak dan cukup memilih Para Mentri dan Staffnya dan mengelola para orang pintar saya ini bekerja.
- Soalnya kalau seorang presiden itu pintar untuk apa mentri-mentrinya dan akhirnya keputusan yang substansial menjadi Lambat dan terkesan ragu-ragu. (Kena Pak SBY). Seorang Presiden itu tidak perlu terlalu pintar sehingga terlalu cepat karena mentrinya jadi tertinggal dan ingat tidak semua lebih cepat itu lebih baik. (Kena JK).
- Karena Pemerintahan itu harus jalan seara proporsional, dan saya akan meneruskan Amanah Bung Karno untuk membangun Indonesia ini…
Selengkapnya?
By Nafry Marmata at 19.57 0 Komentar
Mahasiswa Tawuran, Bangga Neh, Mau jadi apa kelak? Duh Batak !!
UKI : NIVERSITAS KAH ITU, dari temanku waktu di Jakarta, mengawali pembicaraan kami didalam Mopen menuju Universitas Jayabaya sehabis pertemuan TIMTI di Menado. Alasannya simpel, UKI adalah universitas yang selalu melekat dengan Tawuran, sehingga Image Universitas sebagai pelopor pembangunan Pendidikan Lanjutan menjadi dipertanyakan. Apa iya lulusan UKI adalah seorang Sarjana?
Momen itu juga teringat akan Universitas yang juga ramai dengan aksi tawuran, ya di Makassar. Mungkin wajar saja image ini melekat dengan Makassar. Disetiap kesempatan sewaktu Pertemuan Mahasiswa stereotif yang melekat adalah Mahasiswa Kasar dengan gaya Militan dan sembarangan, (Kejadian waktu pertemuan TIMTI Menado, ya meski kelihatan secara Phisik saja).
Disumatera Utara Universitas yang sering mendapat sorotan TV karena aksi tawuran adalah Universitas HKBP Nommensen, there was I graduated coming for. Dan saya adalah salah satu pelaku tawuran itu, Tahun 1999 pecah perang Mahasiswa Nommensen Versus Jurusan Sipil. Kejar mengejar hingga ke luar Kampus dan mengganggu masyarakat sekitar. Perkelahian yang disebapkan Hal sepele (tidak pantas dibandingkan kerugian yang terjadi) akhirnya di selesaikan dengan kesepakatan DAMAI. Pada saat itu yang muncul adalah rasa kesetiakawanan yang kesetanan, peduli korps yang berlebihan, hingga lupa Tugas sebagai seorang Mahasiswa yakni melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi.
Waktu berjalan, akhirnya Sarjana itu TAMAT juga, entah apa yang mengaggu, kegamangan melintasi benak Sarjana baru. Ternyata meski seorang Sarjana dengan predikat yang memuaskan banyak sarjana-sarjana itu yang tidak dibekali dengan standar-standar Dunia kerja.
Contoh simpelnya
- Pengetahuan Dasar/Umum. (Mencakup Wawasan, berfikir dan bertindak, memanej yang mempengaruhinya didunia kerja.
- Pengetahuan Kesarjanaannya ( Terus terang banyak sarjana lulus dengan Mencontoh, baik kuliah sehari-hari maupun Ujian bahkan Tugas kesarjanaan)
- Pengetahuan Tambahan Mutlak. (Meliputi Computer, Bahasa Inggris dan nilai-nilai tambah lainnya yang mutlak diperlukan didunia kerja namun tidak didapat secara signifikan sewaktu Kuli-ah.
- Lingkungan, koneksi. ( Ternyata berteman itu sangat positif, tanpa bermaksud melebih-lebihkan Teman adalah pembentuk siapa kita. Just try making a little survey about five of your close friend. Your behavior, your habits will not take so far from behavior and habits of your close friend. Just check it out. Artinya kelima teman dekatmu itu mempengaruhi dirimu.
Sekarang, setelah mem-flashback kejadian-kejadian Tawuran masa muda dulu, terpikir bahwa tindakan Tawuran itu adalah tindakan bodoh yang hanya distimulasi oleh akal pendek. Apa jadinya jika seorang Mahasiswa yang diharapkan menjadi motor penggerak kemajuan Masyarakat yang justru menjadi pusat keprihatinan. Perlu penyuluhan, proteksi dan menjauhkan para Mahasiswa dari Minuman Keras dan Narkoba. Karena saya yakin bahwa mereka pelaku tawuran tidak jauh-jauh dari prilaku masyarakat yang menyimpang dengan Minuman Keras dan Narkoba. Di UKI dan Nommensen banyak Orang Batak ya, so that what I care about.
Selengkapnya?
By Nafry Marmata at 21.25 0 Komentar
Lanjutkan : SBY masih akan memimpin Bangsa ini untuk 5 Tahun kedepan.
From Pembrontak |
Dari pada hanya LSI (Lembaga Survei Indonesia) yang mengeluarkan hasil Polling yang cenderung menciptakan suatu persfektif yang menggiring suatu Opini dalam masyarakat (lha katanya dibiayai ma FOX INDONESIA, Konsultannya Demokrat), mending saya juga buat kecil-kecilan sebuah survey juga. Mulai dari keluarga, teman dilingkungan hingga teman-teman kantor. Jumlah responden ngga lebih dari 50 Orang.
Yang pasti ini bukan sebuah hasil survey untuk menciptakan sebuah persfektif yang dapat mempengaruhi pendapat para Voter/Pemilih sebelum waktunya memilih. Ini hanyalah sebuah kerjaan yang kurang kerjaan, yang mana setiap orang saya tanyakan tanpa representase umur, pendidikan, arah dan pengetahuan politik dan parameter-parameter lainnya.
Kesimpulannya adalah mereka tetap Memilih SBY karena Kagum akan SBY, dan kemajuan pemberantasan Korupsi meski masih tebang pilih. Gebrakan utamanya adalah pemilihan Pegawai Negri yang diawalnya dulu Murni (sekarang kurang tahu), dan trik pencitraan by SBY Team sungguh memukau responden saya, meski bagi saya sangat tidak baik, karena target utamanya adalah pendulangan suara, jadi bukan jualan Program/Konsep Pemilih Mega-Pro masih berkutat sebagai pendukung Mega sejati sebagai titisan perwakilan Soekarno dan image yang melekat dengan Wong Cilik (Padahal responden tidak ada yang wong cilik lho). Dan Prabowo sebagai tokoh Muda masih sulit diterima dikarenakan kasus-kasus orang hilang (meski mereka tidak tahu detailnya, red tau dari cerita orang lain). Padahal secara Konsep Pak Prabowo ini on the right Track lah, soalnya yang lain Jualan CiTra, beliau Jualan Program Pemilih JK-WIN ternyata lebih kecil dengan mengibaratkan JK cocoknya hanya dengan SBY, jika berdiri sendiri JK kurang dinilai kurang mampu dan less kharismatik meskipun seorang Pengusaha. (Padahal Metro dah habis-habisan Jual keTokohan Bapak yang satu ini).
Mari sukseskan Pilpres kali inin tidak ada gunanya rusuh, dendam, Siapapun yang menang, itu adalah kemenangan rakyat eh kemenangan penCitra.
Salam
By Nafry Marmata at 01.26 0 Komentar
Obama Kembali Memukau Dunia
Hebat benar Abang yang satu ini Berpidato.... Dalam tempo satu Jam tanpa Teks dan semua runutan Katanya yang Luar Biasa.... Mengambil contoh dari teks Al-Quran dan mengatakan dari Landasan Iman Kristianinya...
Intinya Obama
1. Memperbaiki Diplomasi US dengan Dunia Muslim.
2. Segera merealisasikan Hidup Israel dan Palestina sebagai Negara yang berdampingan
3. Tidak ada perlombaan senjata Pemusnah Massal (Nuklir)
4. Konsisten Memberangus Ekstrimis/Teroris yang bangga membunuh atas nama TUHAN.
5. Peningkatan Kualitas Hidup Manusia dengan Kesetaraan.
Sekedar mengabadikan nih saya berniat meng-quote Pidatonya dalam Bahasa Indonesia dan English..
Keren.. Semoga Dunia ini semakin Indah.
Englis
Thank you very much. Good afternoon. I am honored to be in the timeless city of Cairo, and to be hosted by two remarkable institutions. For over a thousand years, Al-Azhar has stood as a beacon of Islamic learning; and for over a century, Cairo University has been a source of Egypt’s advancement. And together, you represent the harmony between tradition and progress. I’m grateful for your hospitality, and the hospitality of the people of Egypt. And I’m also proud to carry with me the goodwill of the American people, and a greeting of peace from Muslim communities in my country: Assalaamu alaykum. (Applause.)
We meet at a time of great tension between the United States and Muslims around the world — tension rooted in historical forces that go beyond any current policy debate. The relationship between Islam and the West includes centuries of coexistence and cooperation, but also conflict and religious wars. More recently, tension has been fed by colonialism that denied rights and opportunities to many Muslims, and a Cold War in which Muslim-majority countries were too often treated as proxies without regard to their own aspirations. Moreover, the sweeping change brought by modernity and globalization led many Muslims to view the West as hostile to the traditions of Islam.
Violent extremists have exploited these tensions in a small but potent minority of Muslims. The attacks of September 11, 2001 and the continued efforts of these extremists to engage in violence against civilians has led some in my country to view Islam as inevitably hostile not only to America and Western countries, but also to human rights. All this has bred more fear and more mistrust.
So long as our relationship is defined by our differences, we will empower those who sow hatred rather than peace, those who promote conflict rather than the cooperation that can help all of our people achieve justice and prosperity. And this cycle of suspicion and discord must end.
I’ve come here to Cairo to seek a new beginning between the United States and Muslims around the world, one based on mutual interest and mutual respect, and one based upon the truth that America and Islam are not exclusive and need not be in competition. Instead, they overlap, and share common principles — principles of justice and progress; tolerance and the dignity of all human beings.
I do so recognizing that change cannot happen overnight. I know there’s been a lot of publicity about this speech, but no single speech can eradicate years of mistrust, nor can I answer in the time that I have this afternoon all the complex questions that brought us to this point. But I am convinced that in order to move forward, we must say openly to each other the things we hold in our hearts and that too often are said only behind closed doors. There must be a sustained effort to listen to each other; to learn from each other; to respect one another; and to seek common ground. As the Holy Koran tells us, “Be conscious of God and speak always the truth.” (Applause.) That is what I will try to do today — to speak the truth as best I can, humbled by the task before us, and firm in my belief that the interests we share as human beings are far more powerful than the forces that drive us apart.
Now part of this conviction is rooted in my own experience. I’m a Christian, but my father came from a Kenyan family that includes generations of Muslims. As a boy, I spent several years in Indonesia and heard the call of the azaan at the break of dawn and at the fall of dusk. As a young man, I worked in Chicago communities where many found dignity and peace in their Muslim faith.
As a student of history, I also know civilization’s debt to Islam. It was Islam — at places like Al-Azhar — that carried the light of learning through so many centuries, paving the way for Europe’s Renaissance and Enlightenment. It was innovation in Muslim communities — (applause) — it was innovation in Muslim communities that developed the order of algebra; our magnetic compass and tools of navigation; our mastery of pens and printing; our understanding of how disease spreads and how it can be healed. Islamic culture has given us majestic arches and soaring spires; timeless poetry and cherished music; elegant calligraphy and places of peaceful contemplation. And throughout history, Islam has demonstrated through words and deeds the possibilities of religious tolerance and racial equality. (Applause.)
I also know that Islam has always been a part of America’s story. The first nation to recognize my country was Morocco. In signing the Treaty of Tripoli in 1796, our second President, John Adams, wrote, “The United States has in itself no character of enmity against the laws, religion or tranquility of Muslims.” And since our founding, American Muslims have enriched the United States. They have fought in our wars, they have served in our government, they have stood for civil rights, they have started businesses, they have taught at our universities, they’ve excelled in our sports arenas, they’ve won Nobel Prizes, built our tallest building, and lit the Olympic Torch. And when the first Muslim American was recently elected to Congress, he took the oath to defend our Constitution using the same Holy Koran that one of our Founding Fathers — Thomas Jefferson — kept in his personal library. (Applause.)
So I have known Islam on three continents before coming to the region where it was first revealed. That experience guides my conviction that partnership between America and Islam must be based on what Islam is, not what it isn’t. And I consider it part of my responsibility as President of the United States to fight against negative stereotypes of Islam wherever they appear. (Applause.)
But that same principle must apply to Muslim perceptions of America. (Applause.) Just as Muslims do not fit a crude stereotype, America is not the crude stereotype of a self-interested empire. The United States has been one of the greatest sources of progress that the world has ever known. We were born out of revolution against an empire. We were founded upon the ideal that all are created equal, and we have shed blood and struggled for centuries to give meaning to those words — within our borders, and around the world. We are shaped by every culture, drawn from every end of the Earth, and dedicated to a simple concept: E pluribus unum — “Out of many, one.”
Now, much has been made of the fact that an African American with the name Barack Hussein Obama could be elected President. (Applause.) But my personal story is not so unique. The dream of opportunity for all people has not come true for everyone in America, but its promise exists for all who come to our shores — and that includes nearly 7 million American Muslims in our country today who, by the way, enjoy incomes and educational levels that are higher than the American average. (Applause.)
Moreover, freedom in America is indivisible from the freedom to practice one’s religion. That is why there is a mosque in every state in our union, and over 1,200 mosques within our borders. That’s why the United States government has gone to court to protect the right of women and girls to wear the hijab and to punish those who would deny it. (Applause.)
So let there be no doubt: Islam is a part of America. And I believe that America holds within her the truth that regardless of race, religion, or station in life, all of us share common aspirations — to live in peace and security; to get an education and to work with dignity; to love our families, our communities, and our God. These things we share. This is the hope of all humanity.
Of course, recognizing our common humanity is only the beginning of our task. Words alone cannot meet the needs of our people. These needs will be met only if we act boldly in the years ahead; and if we understand that the challenges we face are shared, and our failure to meet them will hurt us all.
For we have learned from recent experience that when a financial system weakens in one country, prosperity is hurt everywhere. When a new flu infects one human being, all are at risk. When one nation pursues a nuclear weapon, the risk of nuclear attack rises for all nations. When violent extremists operate in one stretch of mountains, people are endangered across an ocean. When innocents in Bosnia and Darfur are slaughtered, that is a stain on our collective conscience. (Applause.) That is what it means to share this world in the 21st century. That is the responsibility we have to one another as human beings.
And this is a difficult responsibility to embrace. For human history has often been a record of nations and tribes — and, yes, religions — subjugating one another in pursuit of their own interests. Yet in this new age, such attitudes are self-defeating. Given our interdependence, any world order that elevates one nation or group of people over another will inevitably fail. So whatever we think of the past, we must not be prisoners to it. Our problems must be dealt with through partnership; our progress must be shared. (Applause.)
Now, that does not mean we should ignore sources of tension. Indeed, it suggests the opposite: We must face these tensions squarely. And so in that spirit, let me speak as clearly and as plainly as I can about some specific issues that I believe we must finally confront together.
The first issue that we have to confront is violent extremism in all of its forms.
In Ankara, I made clear that America is not — and never will be — at war with Islam. (Applause.) We will, however, relentlessly confront violent extremists who pose a grave threat to our security — because we reject the same thing that people of all faiths reject: the killing of innocent men, women, and children. And it is my first duty as President to protect the American people.
The situation in Afghanistan demonstrates America’s goals, and our need to work together. Over seven years ago, the United States pursued al Qaeda and the Taliban with broad international support. We did not go by choice; we went because of necessity. I’m aware that there’s still some who would question or even justify the events of 9/11. But let us be clear: Al Qaeda killed nearly 3,000 people on that day. The victims were innocent men, women and children from America and many other nations who had done nothing to harm anybody. And yet al Qaeda chose to ruthlessly murder these people, claimed credit for the attack, and even now states their determination to kill on a massive scale. They have affiliates in many countries and are trying to expand their reach. These are not opinions to be debated; these are facts to be dealt with.
Now, make no mistake: We do not want to keep our troops in Afghanistan. We see no military — we seek no military bases there. It is agonizing for America to lose our young men and women. It is costly and politically difficult to continue this conflict. We would gladly bring every single one of our troops home if we could be confident that there were not violent extremists in Afghanistan and now Pakistan determined to kill as many Americans as they possibly can. But that is not yet the case.
And that’s why we’re partnering with a coalition of 46 countries. And despite the costs involved, America’s commitment will not weaken. Indeed, none of us should tolerate these extremists. They have killed in many countries. They have killed people of different faiths — but more than any other, they have killed Muslims. Their actions are irreconcilable with the rights of human beings, the progress of nations, and with Islam. The Holy Koran teaches that whoever kills an innocent is as — it is as if he has killed all mankind. (Applause.) And the Holy Koran also says whoever saves a person, it is as if he has saved all mankind. (Applause.) The enduring faith of over a billion people is so much bigger than the narrow hatred of a few. Islam is not part of the problem in combating violent extremism — it is an important part of promoting peace.
Now, we also know that military power alone is not going to solve the problems in Afghanistan and Pakistan. That’s why we plan to invest $1.5 billion each year over the next five years to partner with Pakistanis to build schools and hospitals, roads and businesses, and hundreds of millions to help those who’ve been displaced. That’s why we are providing more than $2.8 billion to help Afghans develop their economy and deliver services that people depend on.
Let me also address the issue of Iraq. Unlike Afghanistan, Iraq was a war of choice that provoked strong differences in my country and around the world. Although I believe that the Iraqi people are ultimately better off without the tyranny of Saddam Hussein, I also believe that events in Iraq have reminded America of the need to use diplomacy and build international consensus to resolve our problems whenever possible. (Applause.) Indeed, we can recall the words of Thomas Jefferson, who said: “I hope that our wisdom will grow with our power, and teach us that the less we use our power the greater it will be.”
Today, America has a dual responsibility: to help Iraq forge a better future — and to leave Iraq to Iraqis. And I have made it clear to the Iraqi people — (applause) — I have made it clear to the Iraqi people that we pursue no bases, and no claim on their territory or resources. Iraq’s sovereignty is its own. And that’s why I ordered the removal of our combat brigades by next August. That is why we will honor our agreement with Iraq’s democratically elected government to remove combat troops from Iraqi cities by July, and to remove all of our troops from Iraq by 2012. (Applause.) We will help Iraq train its security forces and develop its economy. But we will support a secure and united Iraq as a partner, and never as a patron.
And finally, just as America can never tolerate violence by extremists, we must never alter or forget our principles. Nine-eleven was an enormous trauma to our country. The fear and anger that it provoked was understandable, but in some cases, it led us to act contrary to our traditions and our ideals. We are taking concrete actions to change course. I have unequivocally prohibited the use of torture by the United States, and I have ordered the prison at Guantanamo Bay closed by early next year. (Applause.)
So America will defend itself, respectful of the sovereignty of nations and the rule of law. And we will do so in partnership with Muslim communities which are also threatened. The sooner the extremists are isolated and unwelcome in Muslim communities, the sooner we will all be safer.
The second major source of tension that we need to discuss is the situation between Israelis, Palestinians and the Arab world.
America’s strong bonds with Israel are well known. This bond is unbreakable. It is based upon cultural and historical ties, and the recognition that the aspiration for a Jewish homeland is rooted in a tragic history that cannot be denied.
Around the world, the Jewish people were persecuted for centuries, and anti-Semitism in Europe culminated in an unprecedented Holocaust. Tomorrow, I will visit Buchenwald, which was part of a network of camps where Jews were enslaved, tortured, shot and gassed to death by the Third Reich. Six million Jews were killed — more than the entire Jewish population of Israel today. Denying that fact is baseless, it is ignorant, and it is hateful. Threatening Israel with destruction — or repeating vile stereotypes about Jews — is deeply wrong, and only serves to evoke in the minds of Israelis this most painful of memories while preventing the peace that the people of this region deserve.
On the other hand, it is also undeniable that the Palestinian people — Muslims and Christians — have suffered in pursuit of a homeland. For more than 60 years they’ve endured the pain of dislocation. Many wait in refugee camps in the West Bank, Gaza, and neighboring lands for a life of peace and security that they have never been able to lead. They endure the daily humiliations — large and small — that come with occupation. So let there be no doubt: The situation for the Palestinian people is intolerable. And America will not turn our backs on the legitimate Palestinian aspiration for dignity, opportunity, and a state of their own. (Applause.)
For decades then, there has been a stalemate: two peoples with legitimate aspirations, each with a painful history that makes compromise elusive. It’s easy to point fingers — for Palestinians to point to the displacement brought about by Israel’s founding, and for Israelis to point to the constant hostility and attacks throughout its history from within its borders as well as beyond. But if we see this conflict only from one side or the other, then we will be blind to the truth: The only resolution is for the aspirations of both sides to be met through two states, where Israelis and Palestinians each live in peace and security. (Applause.)
That is in Israel’s interest, Palestine’s interest, America’s interest, and the world’s interest. And that is why I intend to personally pursue this outcome with all the patience and dedication that the task requires. (Applause.) The obligations — the obligations that the parties have agreed to under the road map are clear. For peace to come, it is time for them — and all of us — to live up to our responsibilities.
Palestinians must abandon violence. Resistance through violence and killing is wrong and it does not succeed. For centuries, black people in America suffered the lash of the whip as slaves and the humiliation of segregation. But it was not violence that won full and equal rights. It was a peaceful and determined insistence upon the ideals at the center of America’s founding. This same story can be told by people from South Africa to South Asia; from Eastern Europe to Indonesia. It’s a story with a simple truth: that violence is a dead end. It is a sign neither of courage nor power to shoot rockets at sleeping children, or to blow up old women on a bus. That’s not how moral authority is claimed; that’s how it is surrendered.
Now is the time for Palestinians to focus on what they can build. The Palestinian Authority must develop its capacity to govern, with institutions that serve the needs of its people. Hamas does have support among some Palestinians, but they also have to recognize they have responsibilities. To play a role in fulfilling Palestinian aspirations, to unify the Palestinian people, Hamas must put an end to violence, recognize past agreements, recognize Israel’s right to exist.
At the same time, Israelis must acknowledge that just as Israel’s right to exist cannot be denied, neither can Palestine’s. The United States does not accept the legitimacy of continued Israeli settlements. (Applause.) This construction violates previous agreements and undermines efforts to achieve peace. It is time for these settlements to stop. (Applause.)
And Israel must also live up to its obligation to ensure that Palestinians can live and work and develop their society. Just as it devastates Palestinian families, the continuing humanitarian crisis in Gaza does not serve Israel’s security; neither does the continuing lack of opportunity in the West Bank. Progress in the daily lives of the Palestinian people must be a critical part of a road to peace, and Israel must take concrete steps to enable such progress.
And finally, the Arab states must recognize that the Arab Peace Initiative was an important beginning, but not the end of their responsibilities. The Arab-Israeli conflict should no longer be used to distract the people of Arab nations from other problems. Instead, it must be a cause for action to help the Palestinian people develop the institutions that will sustain their state, to recognize Israel’s legitimacy, and to choose progress over a self-defeating focus on the past.
America will align our policies with those who pursue peace, and we will say in public what we say in private to Israelis and Palestinians and Arabs. (Applause.) We cannot impose peace. But privately, many Muslims recognize that Israel will not go away. Likewise, many Israelis recognize the need for a Palestinian state. It is time for us to act on what everyone knows to be true.
Too many tears have been shed. Too much blood has been shed. All of us have a responsibility to work for the day when the mothers of Israelis and Palestinians can see their children grow up without fear; when the Holy Land of the three great faiths is the place of peace that God intended it to be; when Jerusalem is a secure and lasting home for Jews and Christians and Muslims, and a place for all of the children of Abraham to mingle peacefully together as in the story of Isra — (applause) — as in the story of Isra, when Moses, Jesus, and Mohammed, peace be upon them, joined in prayer. (Applause.)
The third source of tension is our shared interest in the rights and responsibilities of nations on nuclear weapons.
This issue has been a source of tension between the United States and the Islamic Republic of Iran. For many years, Iran has defined itself in part by its opposition to my country, and there is in fact a tumultuous history between us. In the middle of the Cold War, the United States played a role in the overthrow of a democratically elected Iranian government. Since the Islamic Revolution, Iran has played a role in acts of hostage-taking and violence against U.S. troops and civilians. This history is well known. Rather than remain trapped in the past, I’ve made it clear to Iran’s leaders and people that my country is prepared to move forward. The question now is not what Iran is against, but rather what future it wants to build.
I recognize it will be hard to overcome decades of mistrust, but we will proceed with courage, rectitude, and resolve. There will be many issues to discuss between our two countries, and we are willing to move forward without preconditions on the basis of mutual respect. But it is clear to all concerned that when it comes to nuclear weapons, we have reached a decisive point. This is not simply about America’s interests. It’s about preventing a nuclear arms race in the Middle East that could lead this region and the world down a hugely dangerous path.
I understand those who protest that some countries have weapons that others do not. No single nation should pick and choose which nation holds nuclear weapons. And that’s why I strongly reaffirmed America’s commitment to seek a world in which no nations hold nuclear weapons. (Applause.) And any nation — including Iran — should have the right to access peaceful nuclear power if it complies with its responsibilities under the nuclear Non-Proliferation Treaty. That commitment is at the core of the treaty, and it must be kept for all who fully abide by it. And I’m hopeful that all countries in the region can share in this goal.
The fourth issue that I will address is democracy. (Applause.)
I know — I know there has been controversy about the promotion of democracy in recent years, and much of this controversy is connected to the war in Iraq. So let me be clear: No system of government can or should be imposed by one nation by any other.
That does not lessen my commitment, however, to governments that reflect the will of the people. Each nation gives life to this principle in its own way, grounded in the traditions of its own people. America does not presume to know what is best for everyone, just as we would not presume to pick the outcome of a peaceful election. But I do have an unyielding belief that all people yearn for certain things: the ability to speak your mind and have a say in how you are governed; confidence in the rule of law and the equal administration of justice; government that is transparent and doesn’t steal from the people; the freedom to live as you choose. These are not just American ideas; they are human rights. And that is why we will support them everywhere. (Applause.)
Now, there is no straight line to realize this promise. But this much is clear: Governments that protect these rights are ultimately more stable, successful and secure. Suppressing ideas never succeeds in making them go away. America respects the right of all peaceful and law-abiding voices to be heard around the world, even if we disagree with them. And we will welcome all elected, peaceful governments — provided they govern with respect for all their people.
This last point is important because there are some who advocate for democracy only when they’re out of power; once in power, they are ruthless in suppressing the rights of others. (Applause.) So no matter where it takes hold, government of the people and by the people sets a single standard for all who would hold power: You must maintain your power through consent, not coercion; you must respect the rights of minorities, and participate with a spirit of tolerance and compromise; you must place the interests of your people and the legitimate workings of the political process above your party. Without these ingredients, elections alone do not make true democracy.
AUDIENCE MEMBER: Barack Obama, we love you!
PRESIDENT OBAMA: Thank you. (Applause.) The fifth issue that we must address together is religious freedom.
Islam has a proud tradition of tolerance. We see it in the history of Andalusia and Cordoba during the Inquisition. I saw it firsthand as a child in Indonesia, where devout Christians worshiped freely in an overwhelmingly Muslim country. That is the spirit we need today. People in every country should be free to choose and live their faith based upon the persuasion of the mind and the heart and the soul. This tolerance is essential for religion to thrive, but it’s being challenged in many different ways.
Among some Muslims, there’s a disturbing tendency to measure one’s own faith by the rejection of somebody else’s faith. The richness of religious diversity must be upheld — whether it is for Maronites in Lebanon or the Copts in Egypt. (Applause.) And if we are being honest, fault lines must be closed among Muslims, as well, as the divisions between Sunni and Shia have led to tragic violence, particularly in Iraq.
Freedom of religion is central to the ability of peoples to live together. We must always examine the ways in which we protect it. For instance, in the United States, rules on charitable giving have made it harder for Muslims to fulfill their religious obligation. That’s why I’m committed to working with American Muslims to ensure that they can fulfill zakat.
Likewise, it is important for Western countries to avoid impeding Muslim citizens from practicing religion as they see fit — for instance, by dictating what clothes a Muslim woman should wear. We can’t disguise hostility towards any religion behind the pretence of liberalism.
In fact, faith should bring us together. And that’s why we’re forging service projects in America to bring together Christians, Muslims, and Jews. That’s why we welcome efforts like Saudi Arabian King Abdullah’s interfaith dialogue and Turkey’s leadership in the Alliance of Civilizations. Around the world, we can turn dialogue into interfaith service, so bridges between peoples lead to action — whether it is combating malaria in Africa, or providing relief after a natural disaster.
The sixth issue — the sixth issue that I want to address is women’s rights. (Applause.) I know –- I know — and you can tell from this audience, that there is a healthy debate about this issue. I reject the view of some in the West that a woman who chooses to cover her hair is somehow less equal, but I do believe that a woman who is denied an education is denied equality. (Applause.) And it is no coincidence that countries where women are well educated are far more likely to be prosperous.
Now, let me be clear: Issues of women’s equality are by no means simply an issue for Islam. In Turkey, Pakistan, Bangladesh, Indonesia, we’ve seen Muslim-majority countries elect a woman to lead. Meanwhile, the struggle for women’s equality continues in many aspects of American life, and in countries around the world.
I am convinced that our daughters can contribute just as much to society as our sons. (Applause.) Our common prosperity will be advanced by allowing all humanity — men and women — to reach their full potential. I do not believe that women must make the same choices as men in order to be equal, and I respect those women who choose to live their lives in traditional roles. But it should be their choice. And that is why the United States will partner with any Muslim-majority country to support expanded literacy for girls, and to help young women pursue employment through micro-financing that helps people live their dreams. (Applause.)
Finally, I want to discuss economic development and opportunity.
I know that for many, the face of globalization is contradictory. The Internet and television can bring knowledge and information, but also offensive sexuality and mindless violence into the home. Trade can bring new wealth and opportunities, but also huge disruptions and change in communities. In all nations — including America — this change can bring fear. Fear that because of modernity we lose control over our economic choices, our politics, and most importantly our identities — those things we most cherish about our communities, our families, our traditions, and our faith.
But I also know that human progress cannot be denied. There need not be contradictions between development and tradition. Countries like Japan and South Korea grew their economies enormously while maintaining distinct cultures. The same is true for the astonishing progress within Muslim-majority countries from Kuala Lumpur to Dubai. In ancient times and in our times, Muslim communities have been at the forefront of innovation and education.
And this is important because no development strategy can be based only upon what comes out of the ground, nor can it be sustained while young people are out of work. Many Gulf states have enjoyed great wealth as a consequence of oil, and some are beginning to focus it on broader development. But all of us must recognize that education and innovation will be the currency of the 21st century — (applause) — and in too many Muslim communities, there remains underinvestment in these areas. I’m emphasizing such investment within my own country. And while America in the past has focused on oil and gas when it comes to this part of the world, we now seek a broader engagement.
On education, we will expand exchange programs, and increase scholarships, like the one that brought my father to America. (Applause.) At the same time, we will encourage more Americans to study in Muslim communities. And we will match promising Muslim students with internships in America; invest in online learning for teachers and children around the world; and create a new online network, so a young person in Kansas can communicate instantly with a young person in Cairo.
On economic development, we will create a new corps of business volunteers to partner with counterparts in Muslim-majority countries. And I will host a Summit on Entrepreneurship this year to identify how we can deepen ties between business leaders, foundations and social entrepreneurs in the United States and Muslim communities around the world.
On science and technology, we will launch a new fund to support technological development in Muslim-majority countries, and to help transfer ideas to the marketplace so they can create more jobs. We’ll open centers of scientific excellence in Africa, the Middle East and Southeast Asia, and appoint new science envoys to collaborate on programs that develop new sources of energy, create green jobs, digitize records, clean water, grow new crops. Today I’m announcing a new global effort with the Organization of the Islamic Conference to eradicate polio. And we will also expand partnerships with Muslim communities to promote child and maternal health.
All these things must be done in partnership. Americans are ready to join with citizens and governments; community organizations, religious leaders, and businesses in Muslim communities around the world to help our people pursue a better life.
The issues that I have described will not be easy to address. But we have a responsibility to join together on behalf of the world that we seek — a world where extremists no longer threaten our people, and American troops have come home; a world where Israelis and Palestinians are each secure in a state of their own, and nuclear energy is used for peaceful purposes; a world where governments serve their citizens, and the rights of all God’s children are respected. Those are mutual interests. That is the world we seek. But we can only achieve it together.
I know there are many — Muslim and non-Muslim — who question whether we can forge this new beginning. Some are eager to stoke the flames of division, and to stand in the way of progress. Some suggest that it isn’t worth the effort — that we are fated to disagree, and civilizations are doomed to clash. Many more are simply skeptical that real change can occur. There’s so much fear, so much mistrust that has built up over the years. But if we choose to be bound by the past, we will never move forward. And I want to particularly say this to young people of every faith, in every country — you, more than anyone, have the ability to reimagine the world, to remake this world.
All of us share this world for but a brief moment in time. The question is whether we spend that time focused on what pushes us apart, or whether we commit ourselves to an effort — a sustained effort — to find common ground, to focus on the future we seek for our children, and to respect the dignity of all human beings.
It’s easier to start wars than to end them. It’s easier to blame others than to look inward. It’s easier to see what is different about someone than to find the things we share. But we should choose the right path, not just the easy path. There’s one rule that lies at the heart of every religion — that we do unto others as we would have them do unto us. (Applause.) This truth transcends nations and peoples — a belief that isn’t new; that isn’t black or white or brown; that isn’t Christian or Muslim or Jew. It’s a belief that pulsed in the cradle of civilization, and that still beats in the hearts of billions around the world. It’s a faith in other people, and it’s what brought me here today.
We have the power to make the world we seek, but only if we have the courage to make a new beginning, keeping in mind what has been written.
The Holy Koran tells us: “O mankind! We have created you male and a female; and we have made you into nations and tribes so that you may know one another.”
The Talmud tells us: “The whole of the Torah is for the purpose of promoting peace.”
The Holy Bible tells us: “Blessed are the peacemakers, for they shall be called sons of God.” (Applause.)
The people of the world can live together in peace. We know that is God’s vision. Now that must be our work here on Earth.
Thank you. And may God’s peace be upon you. Thank you very much. Thank you. (Applause.)
Source: The White House
Sumber http://blogs.wsj.com/washwire/2009/06/04/obamas-speech-in-cairo/
Indonesia :
Kairo, Mbakdloh.Online
PRESIDEN OBAMA: Terima kasih. Selamat siang. Saya merasa terhormat untuk berada di kota Kairo yang tak lekang oleh waktu, dan dijamu oleh dua institusi yang luar biasa. Selama lebih seribu tahun, Al Azhar telah menjadi ujung tombak pembelajaran Islam, dan selama lebih seabad, Universitas Kairo telah menjadi sumber kemajuan Mesir. Bersama, anda mewakili keselarasan antara tradisi dan kemajuan. Saya berterima kasih atas keramahan anda, dan keramahan rakyat Mesir. Dan saya juga bangga untuk membawa bersama saya niat baik rakyat Amerika, dan salam perdamaian dari warga muslim di negara saya: “assalamu’alaikum”.
Kita bertemu pada saat ada ketegangan besar antara Amerika Serikat dan warga Muslim seluruh dunia – ketegangan yang berakar pada kekuatan-kekuatan sejarah yang melampaui setiap perdebatan kebijakan yang kini berlangsung. Hubungan antara Islam dan Barat selama ini mencakup berabad-abad koeksistensi dan kerja sama, tapi juga konflik dan perang-perang bernuansa agama. Akhir-akhir ini, ketegangan muncul akibat kolonialisme yang menyangkal hak dan peluang bagi banyak warga Muslim, serta sebuah Perang Dingin yang membuat banyak negara dengan mayoritas penduduk Muslim diperlakukan sebagai boneka tanpa mengacuhkan aspirasi mereka sendiri. Lebih jauh lagi, perubahan besar yang dibawa modernitas dan globalisasi membuat banyak Muslim menilai Barat bersikap memusuhi tradisi Islam.
Kalangan ekstrimis yang keras telah mengeksploitasi ketegangan-ketegangan yang ada dalam segmen kecil namun merupakan minoritas kuat di kalangan Muslim ini. Serangan pada tanggal 11 September 2001 dan upaya berkelanjutan dari kalangan ekstrimis ini untuk menyerang warga sipil telah membuat sebagian kalangan di negara saya untuk menilai Islam tidak saja memusuhi Amerika dan negara-negara Barat, tapi juga hak asasi manusia. Semua ini telah memupuk rasa takut dan lebih banyak rasa tidak percaya.
Selama hubungan kita ditentukan oleh perbedaan-perbedaan kita, kita akan memperkuat mereka yang menyebarkan kebencian bukan perdamaian, mereka yang mempromosikan konflik bukan kerja sama yang dapat membantu semua rakyat kita mencapai keadilan dan kemakmuran. Lingkaran kecurigaan dan permusuhan ini harus kita akhiri.
Saya datang ke Kairo untuk mencari sebuah awal baru antara Amerika Serikat dan Muslim diseluruh dunia, berdasarkan kepentingan bersama dan rasa saling menghormati – dan didasarkan kenyataan bahwa Amerika dan Islam tidaklah eksklusif satu sama lain, dan tidak perlu bersaing. Justru keduanya bertemu dan berbagi prinsip-prinsip yang sama – yaitu prinsip-prinsip keadilan dan kemajuan; toleransi dan martabat semua umat manusia.
Saya mengakui bahwa perubahan tidak dapat terjadi dalam semalam. Saya tahu sudah banyak pemberitaan mengenai pidato ini, tetapi tidak ada satu pidato tunggal yang mampu menghapus ketidakpercayaan yang terpupuk selama bertahun-tahun, dan saya pun tidak mampu dalam waktu yang saya miliki siang ini menjawab semua pertanyaan rumit yang membawa kita ke titik ini. Tapi saya percaya bahwa supaya kita bisa melangkah maju, kita harus secara terbuka mengatakan kepada satu sama lain hal-hal yang ada dalam hati kita, dan yang seringkali hanya diungkapkan di belakang pintu tertutup. Harus ada upaya yang terus menerus dilakukan untuk mendengarkan satu sama lain; untuk belajar dari satu sama lain; untuk saling menghormati, dan untuk mencari persamaan. Sebagaimana kitab suci Al Qur’an mengatakan, “Ingatlah kepada Allah dan bicaralah selalu tentang kebenaran.” (Tepuk tangan.) Ini yang saya akan coba lakukan hari ini – untuk berbicara tentang kebenaran sebaik kemampuan saya, dengan direndahkan hati oleh tugas di depan kita, dan dengan keyakinan bahwa kepentingan yang sama-sama kita miliki sebagai umat manusia jauh lebih kuat daripada kekuatan-kekuatan yang memisahkan kita.
Nah, sebagian dari keyakinan ini berakar dari pengalaman saya pribadi. Saya penganut Kristiani, tapi ayah saya berasal dari keluarga asal Kenya yang mencakup sejumlah generasi penganut Muslim. Sewaktu kecil, saya tinggal beberapa tahun di Indonesia dan mendengar lantunan adzan di waktu subuh dan maghrib. Ketika pemuda, saya bekerja di komunitas-komunitas kota Chicago yang banyak anggotanya menemukan martabat dan kedamaian dalam keimanan Islam mereka.
Sebagai pelajar sejarah, saya juga mengetahui peradaban berhutang besar terhadap Islam. Adalah Islam – di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar – yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad, dan membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa. Adalah inovasi dalam masyarakat Muslim – (tepuk tangan) — yang mengembangkan urutan aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; keahlian dalam menggunakan pena dan percetakan; dan pemahaman mengenai penularan penyakit serta pengobatannya. Budaya Islam telah memberikan kita gerbang-gerbang yang megah dan puncak-puncak menara yang menjunjung tinggi; puisi-puisi yang tak lekang oleh waktu dan musik yang dihargai; kaligrafi yang anggun dan tempat-tempat untuk melakukan kontemplasi secara damai. Dan sepanjang sejarah, Islam telah menunjukkan melalui kata-kata dan perbuatan bahwa toleransi beragama dan persamaan ras adalah hal-hal yang mungkin. – (tepuk tangan)
Saya juga tahu bahwa Islam selalu menjadi bagian dari riwayat Amerika. Negara pertama yang mengakui negara saya adalah Maroko. Saat menandatangani Perjanjian Tripoli pada tahun 1796, presiden kedua kami John Adams menulis, “Amerika Serikat tidaklah memiliki karakter bermusuhan dengan hukum, agama, maupun ketentraman umat Muslim.” Dan sejak berdirinya negara kami, umat Muslim Amerika telah memperkaya Amerika Serikat. Mereka telah berjuang dalam perang-perang kami, bekerja dalam pemerintahan, memperjuangkan hak-hak sipil, mengajar di perguruan-perguruan tinggi kami, unggul dalam arena-arena olah raga kami, memenangkan Hadiah Nobel, membangun gedung-gedung kami yang tertinggi, dan menyalakan obor Olimpiade. Dan ketika warga Muslim-Amerika pertama terpilih sebagai anggota Kongres belum lama ini, ia mengambil sumpah untuk membela Konstitusi kami dengan menggunakan Al Quran yang disimpan oleh salah satu Bapak Pendiri kami – Thomas Jefferson – di perpustakaan pribadinya. (tepuk tangan)
Jadi saya telah mengenal Islam di tiga benua sebelum datang ke kawasan tempat agama ini pertama kali diturunkan. Pengalaman tersebut memandu keyakinan saya bahwa kemitraan antara Amerika dan Islam harus didasarkan pada apakah Islam itu, bukan pada apakah yang bukan Islam. Dan saya menganggap ini adalah bagian dari tanggung jawab saya sebagai Presiden Amerika Serikat untuk memerangi stereotip negatif tentang Islam di mana pun munculnya. (tepuk tangan)
Tapi prinsip yang sama harus diterapkan pada persepsi tentang Amerika. (tepuk tangan) Seperti halnya umat Muslim tidak sesuai dengan stereotip yang mentah, Amerika juga bukan stereotip mentah tentang sebuah kerajaan yang hanya punya kepentingan sendiri. Amerika Serikat telah menjadi salah satu sumber kemajuan terbesar yang dikenali dunia. Kami lahir akibat revolusi melawan sebuah kerajaan. Kami didirikan berdasarkan sebuah ide bahwa semua orang diciptakan sama, dan kami telah menumpahkan darah dan berjuang selama berabad-abad untuk memberikan arti kepada kata-kata tersebut – di dalam batas negara kami, dan di sekeliling dunia. Kami terbentuk oleh setiap budaya, yang datang dari setiap sudut bumi, dan berdedikasi pada sebuah konsep sederhana: E pluribus unum: “Dari banyak menjadi satu”.
Banyak yang telah dikatakan mengenai fakta bahwa seorang Amerika keturunan Afrika dengan nama Barack Hussein Obama dapat terpilih sebagai presiden. (tepuk tangan) Tapi kisah pribadi saya bukanlah sesuatu yang unik. Mimpi akan kesempatan bagi semua belumlah terwujud bagi setiap orang di Amerika, tapi janji itu diberikan bagi semua yang datang ke pantai kami – termasuk hampir tujuh juta warga Muslim Amerika di negara kami saat ini yang memiliki pendapatan dan pendidikan lebih tinggi dari rata-rata. (tepuk tangan)
Lebih jauh lagi, kebebasan di Amerika tidaklah terpisahkan dari kebebasan memraktikkan agama. Itu sebabnya ada masjid di setiap negara bagian di negeri kami, dan ada lebih dari 1200 masjid di dalam batas negara kami. Itu sebabnya pemerintah Amerika telah maju ke pengadilan untuk membela hak wanita dan anak perempuan mengenakan hijab, dan untuk menghukum mereka yang mengingkarinya. (tepuk tangan)
Jadi janganlah ada keraguan: Islam adalah bagian dari Amerika. Dan saya percaya bahwa Amerika memegang kebenaran dalam dirinya bahwa terlepas dari ras, agama, dan posisi dalam hidup, kita semua memiliki aspirasi yang sama – untuk hidup dalam damai dan keamanan; untuk memperoleh pendidikan dan untuk bekerja dengan martabat; untuk mengasihi keluarga kita, masyarakat kita, dan Tuhan kita. Ini adalah hal-hal yang sama-sama kita yakini. Ini adalah harapan dari semua kemanusiaan.
Tentu saja, mengenali persamaan kemanusiaan kita hanyalah awal dari tugas kita. Justru ini adalah sebuah awal. Kata-kata saja tidak dapat memenuhi kebutuhan rakyat kita. Kebutuhan-kebutuhan itu baru terpenuhi jika kita bertindak berani di tahun-tahun mendatang; Dan kita harus bertindak dengan pemahaman bahwa tantangan-tantangan yang kita hadapi adalah tantangan bersama, dan kegagalan kita mengatasinya akan merugikan kita semua.
Karena kita telah belajar dari pengalaman baru-baru ini bahwa ketika sistem keuangan melemah di satu negara, kemakmuran di mana pun ikut dirugikan. Ketika jenis flu baru menulari satu orang, semua terkena risiko. Ketika satu negara membangun senjata nuklir, risiko serangan nuklir bagi semua negara ikut naik. Ketika kelompok ekstrim keras beroperasi di satu rangkaian pegunungan, rakyat di seberang samudera pun ikut menghadapi bahaya. Dan ketika mereka yang tak bersalah di Bosnia dan Darfur dibantai, itu menjadi noda dalam nurani kita bersama. (tepuk tangan) Itulah artinya berbagi dunia di abad ke-21. Inilah tanggung jawab kita kepada satu sama lain sebagai umat manusia.
Dan ini adalah tanggung jawab yang sulit diemban. Karena sejarah manusia telah merekam berbagai bangsa dan suku yang mencoba menaklukkan satu sama lain demi kepentingan sendiri. Tapi di era baru ini, sikap seperti itu justru akan mengalahkan diri sendiri. Karena saling ketergantungan kita, setiap tatanan dunia yang mengangkat satu bangsa atau sekelompok orang lebih tinggi dari yang lain pada akhirnya akan gagal. Jadi apa pun pikiran kita mengenai masa lalu, kita tidak boleh terperangkap olehnya. Masalah-masalah kita harus ditangani dengan kemitraan; kemajuan harus dibagi bersama. (tepuk tangan)
Nah, itu tidak berarti kita tidak mengindahkan sumber-sumber ketegangan. Justru yang disarankan adalah sebaliknya: kita harus menghadapi ketegangan-ketegangan ini secara langsung. Dan dalam semangat ini, saya akan berbicara sejelas dan segamblang mungkin mengenai isu-isu spesifik yang saya percaya akhirnya harus kita hadapi bersama.
Isu pertama yang harus kita hadapi adalah ekstrimisme keras dalam semua wujudnya.
Di Ankara, saya telah menjelaskan bahwa Amerika tidak sedang – dan tidak akan pernah – berperang dengan Islam. (tepuk tangan) Kami akan, meski demikian, tak lelah-lelahnya melawan kelompok ekstrim keras yang mengancam serius keamanan kami. Karena kami menolak apa yang juga ditolak oleh semua orang beragama: yaitu pembunuhan laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tidak bersalah. Dan adalah tugas saya yang pertama sebagai Presiden untuk melindungi rakyat Amerika.
Situasi di Afghanistan mendemonstrasikan sasaran-sasaran Amerika dan kebutuhan kita untuk bekerja sama. Lebih tujuh tahun lalu, Amerika Serikat mengejar Al Qaida dan Taliban dengan dukungan internasional yang luas. Kami tidak melakukannya karena ada pilihan, kami melakukannya karena perlu. Saya sadar bahwa sejumlah orang mempertanyakan atau membenarkan peristiwa serangan 11 September. Tapi mari kita perjelas: Al Qaida membunuh hampir 3000 orang pada hari itu. Para korban adalah kaum pria, wanita, dan anak-anak yang tidak bersalah dari Amerika dan banyak negara lain yang tidak berbuat apa-apa untuk melukai orang lain. Tapi Al Qaida memilih untuk dengan kejam membunuh mereka, mengklaim pujian atas serangan tersebut, dan bahkan sekarang menyatakan tekad mereka untuk membunuh lagi dalam skala sangat besar. Mereka memiliki kaki tangan di banyak negara dan sedang mencoba untuk memperluas jangkauan mereka. Ini bukan opini yang dapat diperdebatkan; ini adalah fakta yang harus dihadapi.
Janganlah salah paham: kami tidak menginginkan tentara kami di Afghanistan. Kami tidak berencana mendirikan basis militer di sana. Sangat menyakitkan bagi Amerika untuk kehilangan nyawa banyak warga pria dan wanita kami. Adalah mahal dan sulit secara politik untuk melanjutkan konflik ini. Kami dengan senang hati akan memulangkan setiap tentara kami jika kami bisa yakin bahwa tidak ada kaum ekstrimis keras di Afghanistan dan Pakistan yang bertekad membunuh sebanyak mungkin orang Amerika sebisa mereka. Tetapi hal itu tidak bukanlah kenyataan yang ada sekarang.
Itulah sebabnya kami bermitra dengan koalisi 46 negara. Dan meksi biayanya besar, niat Amerika tidak akan melemah. Tak satu pun dari kita yang seharusnya mentoleransi kaum ekstrimis seperti ini. Mereka telah membunuh di banyak negara. Mereka telah membunuh orang dari beragam agama – lebih dari yang lain, mereka telah membunuh umat Muslim. Tindakan-tindakan mereka sangat bertentangan dengan hak umat manusia, kemajuan bangsa-bangsa, dan dengan Islam. Kitab suci Al Quran mengajarkan bahwa siapa yang membunuh orang tak bersalah, maka ia seperti telah membunuh semua umat manusia; dan siapa yang menyelamatkan satu orang; maka ia telah menyelamatkan semua umat manusia. (tepuk tangan) Iman indah yang diyakini oleh lebih semiliar orang sungguh lebih besar daripada kebencian sempit sekelompok orang. Islam bukanlah bagian dari masalah dalam memerangi ekstrimisme keras – Islam haruslah menjadi bagian penting dari penggalakkan perdamaian.
Kami juga tahu bahwa kekuatan militer saja tidak akan memecahkan masalah di Afghanistan dan Pakistan. Itu sebabnya kami berencana untuk menanam investasi sebesar 1,5 miliar dolar setiap tahun selama lima tahun ke depan untuk bermitra dengan warga Pakistan membangun sekolah, rumah sakit, jalan-jalan, dan usaha, dan ratusan juta untuk membantu mereka yang telah kehilangan tempat tinggal. Dan itu sebabnya kami menyediakan lebih dari 2.8 miliar dolar untuk membantu rakyat Afghanistan membangun ekonomi mereka dan menyediakan jasa-jasa yang dibutuhkan masyarakat.
Kini saya akan berbicara tentang masalah Irak. Tidak seperti Afghanistan, Irak adalah perang karena pilihan yang telah menimbulkan perbedaan-perbedaan kuat di negara saya dan di dunia. Meski saya percaya bahwa rakyat Irak pada akhirnya lebih baik tanpa tirani Saddam Hussein, saya juga percaya bahwa peristiwa-peristiwa di Irak telah mengingatkan Amerika tentang perlunya menggunakan diplomasi dan membangun konsensus untuk mengatasi masalah-masalah kita kapan pun memungkinkan. (tepuk tangan) Kita bahkan dapat mengingat kata-kata salah satu presiden terbesar kami, Thomas Jefferson, yang mengatakan: “Saya berharap kebijakan kita akan bertambah sejalan dengan kekuatan kita, dan mengajarkan kita bahwa semakin sedikit kita menggunakan kekuatan, justru semakin besar kekuatan itu.”
Hari ini Amerika memiliki dua tanggung jawab: yaitu untuk membantu Irak membangun masa depan yang lebih baik, dan untuk menyerahkan Irak ke tangan rakyat Irak. (tepuk tangan) Saya telah menjelaskan kepada warga Irak bahwa kami tidak berencana mendirikan basis di sana, dan tidak mengklaim baik teritori maupun sumber daya mereka. Kedaulatan Irak ada di tangan mereka sendiri. Itu sebabnya saya memerintahkan pencabutan brigade-brigade tempur kami sampai bulan Agustus mendatang. Itu sebabnya kami akan menghormati kesepakatan kami dengan pemerintah Irak yang terpilih secara demokratis untuk menarik pasukan tempur dari kota-kota Irak pada Juli mendatang, dan untuk memulangkan semua tentara kami dari Irak pada tahun 2012. Kami akan membantu Irak melatih Tentara Keamanan dan membangun ekonominya. Tapi kami akan mendukung Irak yang aman dan bersatu sebagai mitra, dan tidak pernah sebagai pelindung.
Dan akhirnya, seperti halnya Amerika tidak pernah bisa mentoleransi kekerasan oleh kaum ekstrimis, kami tidak pernah boleh mengompromikan prinsip-prinsip kami. Serangan 11 September adalah trauma besar bagi negara kami. Rasa takut dan marah yang muncul karenanya bisa dipahami, tapi dalam sejumlah kasus, itu telah membuat kami bertindak berlawanan dengan pemikiran-pemikiran kami. Kami sedang mengambil langkah-langkah konkret untuk mengubah arah. Saya telah sepenuhnya melarang praktik penyiksaan oleh Amerika Serikat, dan saya telah memerintahkan penutupan penjara di Teluk Guantanamo awal tahun depan.
Jadi Amerika akan membela diri, dengan menghormati kedaulatan bangsa-bangsa dan aturan hukum. Dan kami akan melakukannya dalam kemitraan dengan masyarakat-masyarakat Muslim yang juga terancam. Semakin cepat kaum ekstrimis diisolasi dan diusir dari dalam masyarakat-masyarakat Muslim, semakin cepat kita semua akan menjadi selamat.
Sumber ketegangan besar yang kedua yang perlu kita diskusikan adalah situasi antara warga Israel, Palestina, dan dunia Arab.
Ikatan yang kuat antara Amerika dan Israel telah banyak diketahui. Ikatan ini tidak dapat dipatahkan. Ini lahir berdasarkan ikatan budaya dan sejarah, serta pengakuan bahwa aspirasi atas sebuah tanah air Yahudi berakar dari sebuah sejarah tragis yang tidak bisa diingkari.
Di seantero dunia, kaum Yahudi telah ditindas selama berabad-abad, dan anti-Semitisme di Eropa memuncak dalam peristiwa Holocaust yang tidak pernah ada sebelumnya. Besok saya akan mengunjungi Buchenwald yang menjadi bagian dari jaringan kamp-kamp tempat kaum Yahudi diperbudak, disiksa, ditembak, dan digas hingga tewas oleh Third Reich. Enam juta orang Yahudi terbunuh – lebih banyak dari seluruh populasi Yahudi di Israel hari ini. Mengingkari fakta tersebut adalah tidak berdasar, bodoh, dan penuh kebencian. Mengancam Israel dengan penghancuran – atau mengulangi stereotip keji tentang umat Yahudi – sungguh sangat salah dan hanya akan membangkitkan kembali ingatan yang terperih di benak umat Yahudi sembari mencegah perdamaian yang patut dimiliki rakyat di kawasan ini.
Di sisi lain, tidak bisa diingkari bahwa rakyat Palestina – baik yang Muslim maupun yang Kristen – telah menderita dalam perjuangan memperoleh tanah air. Lebih dari enam puluh tahun, mereka telah merasakan sakitnya tidak memiliki tempat tinggal. Banyak yang menunggu di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, Gaza, dan tanah-tanah tetangga untuk sebuah kehidupan yang damai dan aman yang belum pernah mereka jalani. Mereka menerima hinaan setiap hari – besar dan kecil – yang hadir bersama pendudukan. Jadi janganlah ada keraguan: situasi yang dihadapi rakyat Palestina tidaklah dapat ditoleransi. Amerika tidak akan bersikap tidak acuh terhadap aspirasi sah Palestina atas martabat, kesempatan, dan sebuah negara milik mereka sendiri. (tepuk tangan)
Selama beberapa dekade, yang ada hanyalah jalan buntu: Dua rakyat dengan aspirasi yang sah, masing-masing memiliki sejarah menyakitkan yang membuat kompromi sulit dilakukan. Adalah mudah untuk menuding – rakyat Palestina menuding hilangnya tempat tinggal akibat berdirinya negara Israel, dan rakyat Israel menuding permusuhan yang terus menerus dan serangan dari dalam batas negaranya sendiri dan dari luar sepanjang sejarah negara tersebut. Tapi jika kita melihat konflik ini hanya dari satu sisi mana pun, maka kita akan dibutakan dari kebenaran: satu-satunya resolusi adalah aspirasi kedua pihak diwujudkan melalui dua negara, di mana rakyat Israel dan Palestina masing-masing hidup dalam damai dan keamanan. (tepuk tangan)
Ini adalah kepentingan Israel, kepentingan Palestina, dan kepentingan Amerika. Itu sebabnya saya berniat untuk secara pribadi mengejar hasil ini, dengan segala kesabaran yang dituntut oleh tugas ini. (tepuk tangan) Kewajiban-kewajiban yang telah disepakati pihak-pihak menurut Peta Jalan telah jelas. Supaya perdamaian terwujud, waktunya bagi mereka – dan bagi kita semua – untuk melakukan tanggung jawab kita.
Warga Palestina harus meninggalkan kekerasan. Perlawanan lewat kekerasan dan pembunuhan adalah salah dan tidak akan berhasil. Selama berabad-abad, rakyat kulit hitam di Amerika menderita hentakan pecut sebagai budak dan penghinaan akibat pemisahan berdasarkan warna kulit. Tetapi bukan kekerasan yang memenangkan hak-hak persamaan sepenuhnya. Sebuah tuntutan damai namun penuh tekad bagi realisasi kondisi ideal yang merupakan inti dari pendirian Amerika. Kisah sama ini juga diceritakan oleh rakyat mulai dari Afrika Selatan sampai Asia Selatan; dari Eropa Timur sampai Indonesia. Sebuah kisah yang mengandung kebenaran yang sederhana: bahwa kekerasan merupakan sebuah jalan buntu. Bukanlah sebuah tanda keberanian atau kekuasaan kalau menembak roket ke anak-anak yang sedang tidur, atau meledakkan perempuan tua di dalam bis. Itu bukanlah cara untuk mengklaim moralitas; namun itu merupakan cara untuk menghilangkannya.
Kini waktunya untuk warga Palestina memusatkan perhatian kepada apa yang bisa mereka bangun. Penguasa Palestina harus mengembangkan kemampuan untuk memerintah, dengan institusi yang melayani kebutuhan rakyatnya. Hamas memiliki dukungan di sebagian kalangan rakyat Palestina, tetapi mereka juga punya tanggung jawab. Guna memainkan peran yang memenuhi aspirasi rakyat Palestina, dan untuk mempersatukan rakyat Palestina, Hamas harus mengakhiri kekerasan, menghormati persetujuan di masa lalu dan mengakui hak eksistensi Israel.
Secara bersamaan, rakyat Israel harus mengakui bahwa sebagaimana hak Israel untuk eksis tidak bisa dibantah, demikian pula halnya dengan hak Palestina. Amerika Serikat tidak menerima keabsahan dari mereka yang berniat melenyapkan Israel ke dalam laut, tetapi kami juga tidak menerima keabsahan dari penerusan pembangunan pemukiman (tepuk tangan) Yahudi. Pekerjaan konstruksi ini melanggar persetujuan sebelumnya dan melemahkan usaha mencapai perdamaian. Sudah tiba waktunya pembangunan pemukiman ini dihentikan. (tepuk tangan)
Israel harus memenuhi kewajibannya untuk memastikan rakyat Palestina bisa hidup dan bekerja serta membangun masyarakat mereka. Selain menghancurkan banyak keluarga Palestina, terus berlangsungnya krisis kemanusiaan di Gaza juga tidak memperkuat keamanan Israel; begitu pula halnya dengan terus berlangsungnya kelangkaan peluang di Tepi Barat. Kemajuan dalam kehidupan sehari-hari rakyat Palestina harus menjadi bagian dari peta jalan menuju perdamaian, dan Israel harus mengambil langkah-langkah konkrit untuk memberdayakan kemajuan semacam itu.
Akhirnya, Negara-Negara Arab harus menyadari bahwa Inisiatif Perdamaian Arab merupakan awal yang penting, tetapi bukan akhir dari tanggung jawab mereka. Konflik Arab – Israel tidak bisa lagi dipakai untuk mengalihkan perhatian rakyat negara-negara Arab dari masalah-masalah lainnya. Sebaliknya, konflik itu harus menjadi penggerak untuk membantu rakyat Palestina mengembangkan institusi yang akan melanggengkan negara mereka; mengakui hak Israel; serta memilih kemajuan ketimbang fokus pada masa lalu yang begitu melemahkan.
Amerika akan menyesuaikan kebijakannya dengan mereka yang memperjuangkan perdamaian dan mengatakan secara terbuka apa yang kami katakan secara pribadi kepada warga Israel, Palestina, dan Negara-Negara Arab. (tepuk tangan) Kita tidak bisa memaksakan perdamaian. Tetapi secara pribadi, banyak orang Muslim menyadari bahwa Israel tidak akan lenyap; juga banyak orang Israel menyadari perlunya kehadiran sebuah negara Palestina. Waktunya sudah tiba bagi kita untuk bertindak berdasarkan apa yang oleh setiap orang diketahui merupakan hal yang benar.
Terlalu banyak air mata sudah diteteskan. Terlalu banyak darah sudah ditumpahkan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk berjuang menciptakan sebuah masa dimana para ibu Israel dan Palestina bisa menyaksikan anak-anak mereka tumbuh tanpa ketakutan; masa dimana Tanah Suci dari ketiga agama besar merupakan tempat perdamaian yang diinginkan Allah; masa dimana Jerusalem merupakan tempat tinggal aman dan langgeng bagi orang Yahudi dan Kristen dan Muslim, dan merupakan sebuah tempat untuk semua keturunan Abraham hidup bersama secara damai sebagaimana dikisahkan dalam ISRA, ketika Musa, Yesus dan Muhammad (damai bersama mereka) bergabung dalam ibadah doa. (tepuk tangan)
Sumber ketegangan ketiga adalah kepentingan kita bersama sehubungan hak-hak dan tanggung jawab negara-negara atas senjata nuklir. Isu ini menjadi sumber ketegangan baru-baru ini antara Amerika dan Republik Islam Iran. Selama bertahun-tahun, Iran mendefinisikan dirinya sebagian lewat oposisinya terhadap negara saya, dan memang ada sejarah yang kacau di antara kami. Di tengah-tengah Perang Dingin, Amerika memainkan peran dalam penggulingan pemerintah Iran yang terpilih secara demokratik. Sejak Revolusi Islam, Iran telah memainkan peran dalam tindak penyanderaan dan kekerasan terhadap pasukan dan warga sipil Amerika. Sejarah ini diketahui secara luas. Daripada terperangkap dalam masa lalu, saya telah menjelaskan kepada para pemimpin dan rakyat Iran bahwa negara saya siap untuk melangkah maju. Pertanyaannya kini, bukanlah apa yang ditentang Iran, tetapi masa depan apa yang ingin dibangunnya.
Sulit untuk mengatasi puluhan tahun ketidakpercayaan, tetapi kami akan maju dengan keberanian, kebenaran dan tekad. Banyak isu yang harus dibahas oleh kedua negara kita, dan kami siap melangkah maju tanpa prasyarat namun didasarkan pada sikap saling menghormati. Tetapi jelas bagi semua pihak yang berkepentingan bahwa dalam soal senjata nuklir kita telah mencapai titik yang menentukan. Ini bukan sekedar terkait kepentingan Amerika, ini berhubungan dengan pencegahan perlombaan senjata nuklir yang bisa menyebabkan wilayah ini terjerumus ke dalam jalur sangat berbahaya dan menghancurkan tatanan non-proliferasi global.
Saya memahami mereka yang memprotes bahwa beberapa negara memiliki senjata sementara yang lainnya tidak. Tak satupun negara bisa menentukan negara-negara mana yang boleh memiliki senjata nuklir. Itulah sebabnya saya secara kuat mempertegas komitmen Amerika untuk mengusahakan sebuah dunia di mana tak satu pun negara memiliki senjata nuklir. (tepuk tangan) Dan setiap negara – termasuk Iran – harus punya akses ke energi nuklir untuk tujuan damai apabila ia patuh pada tanggung jawabnya dibawah Persetujuan Non-Proliferasi Nuklir. Komitmen itu merupakan inti dari Persetujuan itu, dan harus diberikan kepada semua pihak yang mematuhinya.
Isu keempat yang akan saya tanggapi adalah demokrasi. (tepuk tangan)
Saya percaya pada sebuah sistem pemerintahan yang memberi hak bersuara kepada rakyatnya, dan yang menghormati penegakan hukum serta hak untuk semua manusia. Saya tahu bahwa ada kontroversi tentang penggalakkan demokrasi dalam tahun-tahun terakhir ini, dan sebagian dari kontroversi ini terkait dengan perang di Irak. Saya perjelas: sistem pemerintahan apa pun tidak bisa dipaksakan kepada sebuah negara oleh negara lainnya.
Tetapi hal itu tidak mengurangi komitmen saya kepada negara-negara yang mencerminkan keinginan rakyatnya. Setiap negara menghidupkan prinsip-prinsipnya dengan caranya sendiri, yang berasal dari tradisi rakyatnya. Amerika tidak berpretensi tahu apa yang terbaik untuk semua orang, sebagaimana juga kami tidak berpretensi bahwa kami bisa menentukan hasil dari sebuah pemilihan damai. Tetapi saya memiliki keyakinan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bahwa semua orang merindukan hal-hal tertentu: Kemampuan untuk mengungkapkan pendapat dan ikut menentukan bagaimana bentuk pemerintahan; mempercayai penegakan hukum dan penyelenggaraan keadilan yang sama untuk setiap orang; pemerintahan yang transparan dan tidak mencuri dari rakyatnya; kebebasan untuk hidup sesuai pilihan masing-masing. Itu bukan sekedar ide-ide Amerika, itu adalah hak asasi manusia dan oleh karena itu kami akan mendukungnya di mana saja.
Tak ada garis lurus untuk menciptakan janji itu. Tetapi yang jelas adalah: pemerintahan-pemerintahan yang melindungi hak-hak ini pada akhirnya akan lebih stabil, sukses dan aman. Tak ada garis lurus untuk menciptakan janji itu. Tetapi yang jelas adalah: Memberangus ide-ide tidak pernah berhasil melenyapkannya. Amerika menghormati hak-hak dari semua suara damai dan patuh hukum agar didengar di seluruh dunia meskipun kita tidak sepakat dengan mereka. Dan kami menyambut gembira semua pemerintahan terpilih dan damai – asalkan mereka memerintah dengan menghormati rakyatnya. Dimanapun kekuasaan itu berada, pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat merupakan standar tunggal untuk semua fihak yang memegang kekuasaan, Butir ini penting karena ada yang memperjuangkan demokrasi hanya pada saat mereka tidak berkuasa; setelah berkuasa, mereka secara keji memberangus hak-hak orang lain. (tepuk tangan) Di manapun kekuasaan itu berada, pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat merupakan standar tunggal untuk semua pihak yang memegang kekuasaan. anda harus mempertahankan kekuasaan lewat konsensus, bukan pemaksaan; anda harus menghormati hak-hak minoritas, dan berpartisipasi dalam semangat toleransi dan kompromi, anda harus mendahulukan kepentingan rakyat anda dan usaha sah dari proses politik di atas kepentingan partai. Tanpa ramuan ini pemilihan saja tidak akan menciptakan demokrasi yang murni.
ANGGOTA HADIRIN: Barack Obama, kami cinta anda!
PRESIDEN OBAMA: Terima kasih. (tepuk tangan)
Isu kelima yang harus kita tanggapi bersama adalah kebebasan beragama. Islam memiliki sebuah tradisi toleransi yang patut dibanggakan. Kita menyaksikan hal ini dalam sejarah Andalusia dan Kordoba. Saya menyaksikan hal itu langsung ketika masih kanak-kanak di Indonesia, di mana warga Kristen yang saleh bebas beribadah di sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Itulah semangat yang kita butuhkan kini. Orang di setiap negara harus bebas memilih dan menjalankan keyakinan mereka berdasarkan keyakinan pikiran, hati dan jiwa. Toleransi ini penting agar agama bisa berkembang, tetapi juga ditantang dengan berbagai cara.
Di kalangan Muslim tertentu ada kecenderungan yang merisaukan, yakni mengukur kedalaman keyakinan diri sendiri lewat penolakan keyakinan orang lain. Kebhinekaan agama yang memperkaya harus ditegakkan – apakah itu kelompok Maronit di Lebanon atau Koptik di Mesir. (tepuk tangan) Dan garis pemisah juga harus dihilangkan di antara warga Muslim, sebagaimana perpecahan antara Sunni dan Syiah telah mengakibatkan kekerasan yang tragis, khususnya di Irak.
Kebebasan beragama penting bagi kemampuan rakyat hidup bersama. Kita harus senantiasa menelaah cara-cara yang kita pakai untuk melindunginya. Misalnya, di Amerika Serikat, peraturan sumbangan amal telah mempersulit warga Muslim untuk memenuhi kewajiban agama mereka. Itulah sebabnya saya bertekad untuk bekerja sama dengan warga Muslim Amerika guna memastikan mereka bisa memenuhi zakat.
Juga penting agar negara-negara Barat mencegah larangan kepada warganegara Muslim untuk mempraktikkan agama sesuai kehendak mereka – misalnya, dengan mendikte pakaian apa yang boleh dikenakan seorang perempuan Muslim. Sederhananya, kita tidak bisa menyembunyikan ketidaksenangan terhadap agama apapun lewat alasan liberalisme.
Keyakinan seharusnya mempersatukan kita. Itulah sebabnya kami mengikhtiarkan proyek-proyek di Amerika yang mempertemukan warga Kristen, Muslim dan Yahudi. Itulah sebabnya kami menyambut gembira usaha dialog Antar Agama Raja Abdullah dan kepemimpinan Turki dalam Aliansi Keberadaban. Di seluruh dunia kita bisa memanfaatkan dialog menjadi pelayanan Antar Keyakinan, sehingga jembatan di antara berbagai rakyat mengarah pada tindakan – apakah itu berupa perang melawan malaria di Afrika atau menyediakan bantuan bencana alam.
Isu keenam yang ingin saya tanggapi adalah hak-hak perempuan.
Saya tahu ada perdebatan tentang isu ini. Saya menolak pandangan beberapa pihak di Barat bahwa perempuan yang memilih untuk menutupi rambutnya seakan-akan tidak memiliki persamaan hak, tetapi saya juga berpendapat bahwa seorang perempuan yang tidak bisa menikmati pendidikan tidak diberi kesamaan hak. Dan bukan kebetulan bahwa negara-negara di mana kaum perempuannya terdidik secara baik juga makmur.
Saya perjelas: isu-isu mengenai persamaan hak perempuan bukan semata-mata merupakan isu untuk Islam. Di Turki, Pakistan, Bangladesh dan Indonesia, kita saksikan di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, mereka memilih seorang perempuan untuk memimpin. Sementara itu, perjuangan bagi persamaan hak perempuan masih terus merupakan aspek dalam kehidupan di Amerika, dan di negara-negara di seluruh dunia. Itulah sebabnya Amerika akan bermitra dengan setiap negara yang mayoritas penduduknya Muslim guna mendukung perluasan pemberantasan buta huruf untuk perempuan, dan membantu perempuan muda memperjuangkan pekerjaan lewat pinjaman untuk usaha kecil yang membantu rakyat merealisasikan cita-cita mereka.
Saya yakin putri-putri kita bisa menyumbang kepada masyarakat setara seperti putra-putra kita, (tepuk tangan) dan kemakmuran kita bersama bisa dimajukan dengan memberi kesempatan kepada semua orang – laki-laki dan perempuan – mencapai potensi mereka sepenuhnya. Saya berpendapat perempuan tidak harus membuat pilihan sama seperti laki-laki agar mencapai kesamaan, dan saya menghormati perempuan yang memilih peran tradisional dalam menjalankan kehidupan mereka. Tetapi hal itu haruslah merupakan pilihan mereka sendiri.
Akhirnya, saya ingin membahas pembangunan ekonomi dan kesempatan.
Saya tahu untuk banyak kalangan, wajah globalisasi bertentangan. Internet dan televisi bisa mengantarkan pengetahuan dan informasi, tetapi juga seksualitas yang bersifat ofensif dan kekerasan tak berperi kemanusiaan. Perdagangan bisa menciptakan kekayaan dan peluang baru, tetapi juga gangguan dan perubahan di masyarakat. Di semua negara – termasuk negara saya – perubahan ini bisa menyebabkan ketakutan. Ketakutan karena akibat modernitas kita kehilangan kendali atas pilihan ekonomi kita, politik kita dan yang terpenting, identitas kita – hal-hal yang paling kita hargai dari masyarakat kita, keluarga kita, tradisi kita dan keyakinan kita.
Tetapi saya juga tahu kemajuan manusia tidak bisa ditampik. Tidak perlu ada kontradiksi antara pembangunan dan tradisi. Negara seperti Jepang dan Korea Selatan membina ekonomi mereka sambil tetap mempertahankan budaya mereka. Hal yang sama juga berlaku pada kemajuan mengagumkan dalam Islam mulai dari Kuala Lumpur sampai ke Dubai. Di masa kuno dan di masa kita, masyarakat Muslim membuktikan bahwa mereka mampu berada di garis depan inovasi dan pendidikan.
Ini penting karena tak ada strategi pembangunan yang semata-mata didasarkan pada apa yang dihasilkan tanah, dan strategi pembangunan juga tidak bisa dipertahankan kalau generasi mudanya tidak memiliki pekerjaan. Banyak Negara Teluk menikmati kekayaan sebagai akibat penghasilan minyaknya, dan beberapa sudah mulai memusatkan perhatian pada pembangunan yang lebih luas. Tetapi kita semua harus menyadari bahwa pendidikan dan inovasi akan menjadi faktor penentu dari abad ke 21. (tepuk tangan) dan di banyak masyarakat Muslim masih kekurangan investasi dalam bidang-bidang ini..Saya tekankan hal itu di negara saya. Dan sementara Amerika di masa lalu memusatkan perhatian pada minyak dan gas alam di bagian dunia ini, kami kini menghendaki hubungan yang lebih luas.
Dalam pendidikan, kami akan memperluas program pertukaran dan memperbanyak bea siswa, seperti yang mengantar ayah saya ke Amerika, sementara juga mendorong lebih banyak warga Amerika untuk belajar di tengah masyarakat Muslim. Dan kami akan menempatkan siswa-siswa Muslim yang menjanjikan di tempat-tempat magang di Amerika; melakukan investasi dalam pembelajaran online untuk guru-guru dan anak-anak di seluruh dunia; dan menciptakan jaringan online baru, sehingga seorang remaja di Kansas mampu berkomunikasi langsung dengan remaja di Kairo.
Dalam rangka pembangunan ekonomi, kami akan menciptakan sebuah korps relawan bisnis baru untuk bermitra dengan counterpartnya di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Dan saya akan menyelenggarakan KTT Kewiraswastaan tahun ini untuk mengidentifikasi bagaimana kita bisa mempererat hubungan antara pemimpin bisnis, yayasan dan wiraswasta sosial di Amerika dan masyarakat Muslim di seluruh dunia.
Dalam bidang sains dan teknologi, kami akan meluncurkan sebuah dana baru untuk mendukung pembangunan teknologi di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, dan membantu mentransfer ide-ide ke pasar-pasar sehingga tercipta lapangan pekerjaan. Kami akan membuka pusat keunggulan sains di Afrika, Timur Tengah dan Asia Tenggara serta mengangkat Utusan Sains baru untuk bekerja sama dalam program-program yang mengembangkan sumber energi baru, menciptakan lapangan pekerjaan hijau, digitalisasi catatan, air bersih dan menumbuhkan tanaman panen baru. Dan hari ini saya mengumumkan sebuah usaha global baru bersama Organisasi Konferensi Islam guna memberantas polio. Dan kita juga akan memperluas kemitraan dengan masyarakat Muslim guna menggalakkan kesehatan anak dan ibu.
Semua ini harus dilakukan lewat kemitraan. Rakyat Amerika siap bergabung dengan warganegara dan pemerintahan; organisasi kemasyarakatan, pemimpin agama dan bisnis di masyarakat Muslim diseluruh dunia guna membantu rakyat kita memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.
Isu-isu yang telah saya uraikan tidak mudah ditanggapi. Tetapi kita punya tanggung jawab untuk bergabung demi memperjuangkan dunia yang kita cita-citakan – sebuah dunia di mana ekstremis tidak lagi mengancam rakyat kita, dan pasukan Amerika bisa pulang; sebuah dunia di mana rakyat Israel dan Palestina masing-masing memiliki negara mereka sendiri yang aman, dan energi nuklir dipergunakan untuk tujuan damai; sebuah dunia di mana pemerintahan melayani warganegaranya serta hak-hak dari semua umat Allah dihormati. Ini merupakan kepentingan bersama. Itulah dunia yang kita cita-citakan, tetapi hal itu hanya kita bisa capai bersama.
Saya tahu ada banyak – Muslim dan non-Muslim – yang mempertanyakan apakah kita bisa membina permulaan baru ini. Beberapa ingin menghasut api perpecahan, dan menghalangi kemajuan. Beberapa mengatakan hal ini tidak ada gunanya – bahwa kita sudah ditakdirkan untuk berseteru dan berbagai peradaban ditakdirkan beradu. Banyak lagi yang sekedar skeptis bahwa perubahan nyata bisa terselenggara. Begitu banyak ketakutan, begitu banyak ketidak percayaan. Tetapi kalau kita memilih untuk terperangkap dalam masa lalu maka kita tidak pernah akan melangkah maju. Dan saya secara khusus ingin mengatakan kepada generasi muda dari setiap kepercayaan, di setiap negara – anda, lebih dari orang lain, memiliki kemampuan untuk menata kembali dunia, menyusun kembali dunia.
Kita semua menghuni dunia ini untuk waktu yang singkat. Pertanyaannya adalah apakah kita melewatkan waktu itu terpusat pada hal-hal yang memecah belah kita, atau apakah kita mendedikasikan diri pada usaha – usaha berkesinambungan – untuk mencapai kesamaan, memusatkan perhatian pada masa depan bagi anak-anak kita dan menghargai harga diri semua insan manusia.
Hal-hal ini tidaklah mudah. Lebih mudah memulai perang ketimbang menghentikannya. Lebih mudah menuduh pihak lain ketimbang melakukan introspeksi diri; untuk melihat apa yang berbeda pada diri seseorang ketimbang menemukan kesamaan kita. Tetapi ada pula sebuah aturan yang merupakan inti setiap agama – bahwa kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh mereka. Kebenaran ini berlaku lintas negara dan lintas rakyat – sebuah keyakinan yang tidak baru, yang tidak hitam atau putih atau coklat; bukan kebenaran Kristen, atau Muslim atau Yahudi. Ini merupakan keyakinan yang berdetak dalam dari buaian keberadaban, dan masih tetap berdetak dalam jantung miliaran manusia. Ini merupakan rasa percaya pada orang lain, dan hal itulah yang membawa saya kesini hari ini.
Kita memiliki kekuatan untuk menciptakan dunia yang kita cita-citakan, tetapi hanya apabila kita punya keberanian untuk memasuki awal yang baru, sambil ingat pada apa yang tertulis.
ALKitab Suci Al Quran mengatakan kepada kita, “Wahai manusia! Sesungguhnya kami telah ciptakan kamu sekalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal…”
Talmud mengatakan kepada kita: “Seluruh Torah adalah untuk maksud menggalakkan perdamaian.”
Kitab Suci Injil mengatakan pada kita, “Diberkatilah pencipta perdamaian, karena mereka akan disebut putra-putra Allah.” (tepuk tangan)
Rakyat seluruh dunia bisa hidup bersama dalam damai. Kita tahu itu merupakan visi Allah. Kini, itu menjadi kewajiban kita di Dunia. Terima kasih. Dan semoga damai Allah bersama anda. Terima kasih banyak. Terima kasih (tepuk tangan)
Sumber :http://mbakdloh.wordpress.com/2009/06/05/pidato-obama-di-mesir/
By Nafry Marmata at 21.40 0 Komentar